FILSAFAT
EKSISTENSIALISME
DAN FENOMENOLOGI
Dosen Pembimbing:
Dr. H. M. Yunus Abu
Bakar, M. Ag
Penyusun:
Faizah Alif D91211149
FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011-2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan
taufiq, rahmat, serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga tersusunlah sebuah
makalah ini meskipun dalam bentuk yang sederhana.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. sebagai orang yang pertama dan utama sebagai mufassir sehingga
menjadi acuan dalam mendukung penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang
kami miliki. Oleh karena itu, dengan rasa kesadaran akan perlunya persatuan dan
kesatuan dalam memacu ilmu yang bermanfaat, kami selalu bersedia menerima kritikan
dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna kesempurnaan penulisan
makalah ini.
Ucapan terima kasih juga tidak terlupakan kepada para pihak yang telah
memberikan sumbangan pikiran, baik dari sahabat maupun teman-teman seangkatan.
Dengan ini, kami sampaikan terima kasih yang tak terhingga besarnya kepada
semua pihak yang telah membantu dengan segala keikhlasannya sehingga makalah
ini bisa selesai dengan baik.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dengan
baik bagi diri penyusun sendiri maupun bagi teman-teman semuanya, amin. Dan
dengan segala bantuan serta sumbangan pikiran dari berbagai pihak, kami
sampaikan rasa terima kasih, semoga Allah SWT. selalu mencurahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Robbal ‘Alamin.
Surabaya, Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................. 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat
Kontemporer........................................................................ 2
1. Eksistensialisme.......................................................................... 5
2. Fenomenologi.............................................................................. 8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................... 11
BAB IV
REVISI MAKALAH FILSAFAT
A. Eksistensialisme................................................................................. 12
B. Fenomenologi................................................................................... 15
BAB V
ANALISIS DALAM PERSPEKTIF
ISLAM
A. Analisis dalam
Perspektif Islam........................................................ 20
B. Kesimpulan Revisi
dan Analisis........................................................ 25
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 32
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan dan
kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan
perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring
dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu
kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu
sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Zaman klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada
abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M. Zaman pertengahan meliputi pemikiran
Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M. Zaman
modern didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance. Pada filsafat Rene
Descartes (1596-1650) dan berakhir pada pemikiran Friedrich Nietzsche
(1844-1900), dan zaman kontemporer yang meliputi seluruh filsafat abad ke-20
hingga saat ini.
Para penulis merasa kesulitan ketika hendak menulis
filsafat kontemporer, hal ini dikarenakan mereka harus
mengambil jarak terhadap obyek zamannya sendiri sehingga mereka sangat
berhati-hati ketika berbicara perkembangan filsafat.
Makalah ini mencoba menguraikan filsafat fenomenologi tentang hakikat suatu benda sebagai
sumber pengetahuan dan kebenaran serta filsafat eksistensialisme tentang manusia konkret sebagai pokok renungan dari ajaran filsafat ini.
Namun sebelumnya akan diuraikan secara ringkas mengenai filsafat yang
membawahinya yakni filsafat kontemporer agar diperoleh gambaran komperhensif
tentang posisi semua aliran filsafat kontemporer dalam kontelasi sejarah
pemikiran Barat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. FILSAFAT KONTEMPORER
“There
is No Perfectness in the World”, ungkapan ini adalah yang paling tepat dan
perlu untuk mengawali pembahasan dalam makalah ini. Sebab, bila kita menelusuri
jejak pemikiran filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata
ada kelemahan dan kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di
sisi yang lain. Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna
ternyata masih ada sisi kurangnya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas
pemikiran yang disebut Fisafat Kontemporer.
Segi
kekurangan tersebut bisa diperlihatkan dengan banyaknya filosof dan
pemikirannya yang gagal mencapai kebijaksanaan sebagai inti diskursus filsafat.
Kegagalan tersebut disebabkan atas dua alasan. Yang pertama, merasa bahwa
penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari
perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang
pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang
sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
Disebabkan
karena tuntutan logis atau rasionalitas, filsafat mengalami beberapa
penggeseran yang khas. Penggeseran pertama, adalah dari paradigma yang
kosmosentris lewat paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Wawasan
kosmosentris adalah paradigma filsafat Yunani yang berarti kosmos atau alam
raya, berada di pusat perhatian para filosof. Lewat paradigma teosentris dalam
filsafat Islam dan Kristiani abad pertengahan, Allah ada di pusat perhatian,
segala-galanya mau dilihat seakan-akan dari sudut pandang Allah. Dalam
paradigma antroposentris manusia menempati center court. Paradigma
antroposentris itu muncul dengan terang benderang di panggung filsafat dalam
abad ke-17.
Penggeseran
yang lain, adalah dari filsafat substansial-dengan pertanyaan dasar “Ada apa?
Dan apa yang ada itu apa?”, filsafat ini membahas tentang masalah-masalah
seperti hakikat alam, Allah, dan manusia-ke filsafat epistemologis dan metodis
yang bertanya tentang: “Apa yang dapat diketahui dan apa yang dikatakan?”, ke
filsafat kritis yang mau membebaskan.
Namum
dalam faktanya, pedoman para filosof kepada rasio dan menghindari intuisi
mengalami pengalaman buruk sebagaimana yang telah dijelaskan pada beberapa buku
sejarah filsafat Barat. Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan
rasio merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapi
kebenaran. Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa
ditangkap dengan wadah rasio dan indra saja. Selanjutnya akan disimpulkan
secara singkat urutan beberapa perkembangan filsafat pada abad setelahnya.
Pada
abad ke-20 kita dapat menyaksikan empat aliran besar dalam filsafat. Pertama,
filsafat fenomenologis dan eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya: Husserl, Heidegger,
dan Sartre, filsafat ini merupakan aliran yang paling subur di Eropa
kontinental terutama di Jerman dan Prancis. Aliran kedua, meskipun bermula dari
“Lingkaran Wiena”, Austria, menjadi filsafat yang dominan untuk waktu yang lama
di wilayah Anglo-Saxon, jadi di Inggris dan Amerika Utara, itulah filsafat
analitis dan bahasa, dengan tokohnya Ludwig Wittgenstein, di mana aliran yang
paling terkenal adalah Positivisme Logis. Aliran ketiga bertitik berat di
Jerman dan Prancis, yaitu filsafat kritis yang memahami pemikiran filosofis
sebagai praksis pembebasan. Di sini termasuk Teori Kritis Horkheimer dan Adorno
kemudian Habermas, serta segala filsafat yang mendapat inspirasi dasar dari
pemikiran Karl Marx dan Foucalt, misalnya teori keadilan John Rawls. Aliran
keempat yang sangat tidak homogen adalah medan pemikiran postmodernistik yang
terutama dikembangkan di Prancis, dengan tokoh-tokohnya, seperti: Derrida dan
Lyotard. Dan di Amerika Serikat dengan Komunitarisme (yang dengan sendirinya
menolak dimasukkan ke dalam postmodernisme). “Postmodernisme” itu menolak
segala usaha untuk memahami seluruh kekayaan gejala kehidupan manusia melalui
satu pola teoretis. Pemahaman satu pola itu memaksa dan menjadi sarana
penindasan dalam realitas. Di samping empat aliran besar tersebut, tentu masih
ada sekian banyak aliran lain, teutama Neo-Thomisme dan banyak filosof yang
tidak mudah dapat ditempatkan ke dalam salah satu dari aliran itu.
Mengenai
beberapa aliran filsafat yang berkembang di Barat, menurut sumber yang lain,
dinyatakan bahwa pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas sejarah filsafat
Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang bertahan lama dalam
wilayah-wilayah luas, rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Dibandingkan
dengan itu, filsafat Barat dalam abad kesembilan belas dan dua puluh kelihatan
terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru bermunculan, dan yang menarik
aliran-aliran ini sering terikat hanya pada satu negara atau satu lingkungan
bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah
positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lainnya.
Beberapa
aliran-aliran dalam filsafat kontemporer adalah sebagai berikut:
1. Eksistensialisme
Eksistensi berasal dari kata ex yang berarti keluar
dan sister berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri dengan keluar dari
diri sendiri. Filsafat eksistensialisme tidak sama dengan eksistensi tetapi ada
kesepakatan diantara keduanya yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia
sebagai tema pokok.
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran
filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof yang memandang bahwa
filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme
Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah
penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu
kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap
filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan,
juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia
terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat
hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu
filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan
secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya
tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang
eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya
masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga
dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia
berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan
eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu
melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada
unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang
terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret.
Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme
memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu
ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang
sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun
ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan
keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan antar manusia
dengan lingkungan budaya). Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia,
dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus
menjadi seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia
merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat
sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme.
Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung
jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau
tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer,
insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi
dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
a.
Tokoh-tokoh
Eksistensialisme
1)
Soren Aabye
Kiekeegaard
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah
eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi,
manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita
menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari
manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap
kemungkinan.
2)
Friedrich
Nietzsche
Menurutnya manusia yang
bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will
to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh)
yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat
dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih
aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3) Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan
mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai
dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif,
sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.
4) Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan
manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar
manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada
diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena
benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap
tindakan dan tujuan mereka.
5) Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia,
manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur
dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada
dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.
2. Fenomenologi
Edmun
Husserl (1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah seorang
filosof dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan melahirkan
filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin
mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori
umum. “Zuruck zu den sachen selbst”-
kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang
dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek
memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri
kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil jarak” dari objek
itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu
kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya, dan kita memahaminya berkat intuisi dalam
diri kita.
Fenomen
atau fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan bendanya
sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak
perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga di lihat
secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa
menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang
menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa
adanya, apa yang jelas di hadapan kita.
Secara
harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan
dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung.
Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada
pendapat Brentano bahwa subjek dan objek
menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari
fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang disebut
konstitusi.
Filsafat
Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan
untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu
itu melalui reduksi. Para ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu
metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau
suatu aliran filsafat.
Dalam
pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati
hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap
sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni.
Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni,
yaitu:
a. Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
b. Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan
hipotesis, serta
c. Membebaskan diri dari doktrin-doktrin
tradisional.
Setelah
mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau
reduksi epochal, fenomena yang
dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar
atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang
disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu
mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua
reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud
mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta
dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Tokoh-tokoh
fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty
(1908-1961).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat modern telah dianggap lebih sempurna
dalam sisi pemikirannya, tapi pada faktanya masih ada sisi kekurangannya
sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut Fisafat
Kontemporer.
Ada dua kekurangan pemikiran filsafat moderen:
pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai
kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah
(desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu
didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
Secara
harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang
menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan
kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan
dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Tokoh-tokoh
fenomenologi adalah Edmund Husser, Max
Scheller, dan Maurice Merleau-Ponty.
Eksistensialisme merupakan suatu
aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang
bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak
benar. Manusia juga
dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia
berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan
eksistensialisme adalah manusia konkret. Tokoh-tokoh aliran eksistensialisme
antara lain: Soren Aabye Kiekeegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, dan Jean Paul Sartre.
BAB IV
REVISI MAKALAH FILSAFAT
A.
Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Aliran ini berpedirian bahwa
filsafat memang harus bertitik tolak pada manusia konkrit, yakni manusia
sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini, maka bagi manusia
eksistensi itu mendahului esensi.
Pemikiran filsafat ini membedakan
antara proses esensi dan eksistensi. Esensi adalah proses menjadikan semua
sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya, contohnya: Pohon mangga
menjadi pohon mangga. Tetapi masih belum pasti apakah pohon itu sungguh ada,
tampil, dan hadir. Maka disitulah peran eksistensi muncul. Pengertian
eksistensi adalah proses menjadikan semua yang ada dan bersosok itu jelas
bentuknya dan mampu berada serta eksis, contohnya: Pohon mangga yang tadinya
telah melewati proses esensi selanjutnya dapat tertanam, tumbuh, dan berkembang
dengan proses eksistensi. Jika obyek contoh di atas adalah manusia, maka
manusia merupakan tonggak utama untuk menggerakkan ketentuan dalam keberadaan
dan kebebasannya sendiri. Dengan demikian, mereka dapat bertindak dengan
kebebasannya itu.
Eksistensialisme adalah salah satu
aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme
mempersoalkan keber-ada-an manusia, dan keber-ada-an itu dihadirkan lewat
kebebasan. Pertanyaan utama yang selalu berhubungan dengan eksistensialisme
adalah soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas
itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme
menolak mentah-mentah bentuk determinasi atau ketetapan terhadap kebebasan
kecuali kebebasan itu sendiri.
Pada dasarnya, dalam studi sekolahan
filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang
terkenal dengan diktumnya "Human Is Condemned To Be Free",
manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia
bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi atau asal mula
kebebasan eksistensialis adalah sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau
"dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "Kebebasan
yang bertanggung jawab?” Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah
satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap
individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan
harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan
dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan
membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari
eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar
akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
Kaum eksistensialis menyarankan kita
untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji. Baik itu benda, perasaaan,
pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya
pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman,
dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau
keyakinan kita.
Walaupun terdapat beberapa sisi
positif dari pemikiran ini tetapi ada pula kelemahan dari pemikiran ini, yaitu:
1. Etika
pemikiran ini terperosok ke dalam pendirian yang individualisme,
2. Mengabaikan
tata tertib dan peraturan serta hukum,
3. Selalu
mengambil sikap dengan dasar kebebasan, dan
4. Amat
memperhitungkan situasi tapi mudah goyah.
Dalam ajaran filsafat ini, dapat
diambil sebuah ajaran pokok bahwa manusia merupakan tonggak utama untuk
menggerakkan ketentuan dalam keberadaannya sendiri. Padahal manusia hanyalah
salah satu makhluk yang diciptakan oleh
Tuhan. Dengan demikian, maka Tuhanlah yang mempunyai kedudukan sebagai
“Penggerak Pertama” atau “Penggerak yang Tak Tergerakkan”, karena segala
sesuatu di dunia ini pasti ada yang menciptakan dan tidak mungkin suatu akibat
muncul begitu saja tanpa disertai dengan sebab.
Begitu pula dalam kehidupan manusia
yang bermasyarakat, pasti didalamnya terdiri dari beberapa nilai dan norma
sosial yang harus dilaksanakan untuk mencapai keberlangsungan hidup mereka.
Tetapi, ajaran eksistensialisme mengajarkan bahwa manusia tidak wajib dan tidak
seharusnya tuduk kepada nilai dan norma dalam masyarakat tersebut karena
keberadaannya sebagai makhluk sui generic, yaitu apa adanya.
Dengan demikian, maka Thomas Aquinas
dengan tegas menyatakan, “Manusia tidaklah menciptakan nilai dan norma
sosialnya sendiri, atau dengan kata lain, manusia tidaklah berada pada “Proses
penciptaan yang terus-menerus dan berulang-ulang pada dirinya sendiri”,
melainkan sekedar “menemukan” serta kembali “menemukan” secara terus-menerus
dan berulang-ulang tanpa henti.
B. Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi
dalam bidang filsafat
yang mempelajari manusia
sebagai sebuah fenomena.
Aliran ini berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya
dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan
fenomena. Sesuatu yang terdapat dalam diri kita sendiri akan merangsang alat
indrawi dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun
secara sistematis dengan jalan penalaran.
Ilmu fenomonologi dalam filsafat
biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti
daripada fenomena ini. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas
fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal
dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa
yang kita alami. Sumber pengetahuan dan kebenaran difokuskan pada obyek itu
sendiri, tanpa meninggalkan kenyataan yang tampak pada obyek tersebut.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk
mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat
segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.
Filsafat ini mencoba menepis semua asumsi atau dugaan yang mengkontaminasi
pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara
berfilsafat yang radikal.
Para ahli tertentu mengartikan
Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan
memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian suatu metode, Kant
dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber
gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat
hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni.
Tiga hal yang perlu disisihkan dari
usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a. Membebaskan diri dari anasir atau unsur
subjektif,
b. Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan
hipotesis, serta
c. Membebaskan diri dari doktrin-doktrin
tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang
pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal,
fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal
yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi
kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita
hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak.
Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya
dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa
pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Fenomenologi berkembang sebagai
metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Seorang ahli
fenomenolog “Edmund Husserl” menanggalkan segenap teori, anggapan, serta
prasangka agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu Den Sachen
Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri).
Tugas utama fenomenologi menurut
Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl,
realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang
mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger,
yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan
manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang
sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju
kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai
“Hakikat Segala Sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua
langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche
dan eidetich vision. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche
memiliki empat macam, yaitu:
1. Method of Historical Bracketing; metode yang mengesampingkan
aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan
sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of Existensional Bracketing; meninggalkan atau abstain
terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of Transcendental Reduction; mengolah data yang kita
sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of Eidetic Reduction; mencari esensi fakta, semacam
menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas
itu. Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada
hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Seperti halnya jika kita ingin
mengembangkan analisis fenomenologis tentang “Perilaku Politik Kyai”, maka
hal-hal yang harus kita lakukan adalah sebagai berikut:
1.
Menunda atau melepaskan semua
keputusan dan pengetahuan tentang kyai,
2.
Mengarahkan perhatian kita pada
perilaku yang tampak pada kesadaran yang kita alami, kemudian
3.
Kita akan sampai padaperilaku
politik kyai yang sesungguhnya.
Jadi, penelitian yang diajarkan
dalam aliran filsafat ini adalah mempelajari apa yang ada di balik obyek
tersebut, bukan diteliti berdasarkan apa yang tampak secara dhohir. Oleh
karenanya, harus dibebaskan terlebih dahulu dari semua hal yang berhubungan
dengan obyek tersebut seperti semua unsur subyektif yang meliputinya, ciri-ciri
instrinsik dari fenomena yang akan diteliti, sehingga pada fenomena tersebut
nantinya hanya tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi
selanjutnya diteliti secara obyektif.
Fenomenologi dapat mendeskripsikan
fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori
dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari,
baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap
pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang
objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan
pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang
diamati.
Dibalik kelebihan-kelebihannya,
fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan
fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh
berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan,
merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu
pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan
nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa
tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status
pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian
bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan
secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara
dan relatif.
Sebagai akibatnya, tujuan penelitian
fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. Selanjutnya, fenomenologi
memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati,
sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas.
Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung
subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi
tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau
kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.
BAB V
ANALISIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.
Analisis dalam Perspektif Islam
Dalam pandangan islam,
dengan tampilnya psikologi humanistik (yang dipengaruhi filsafat fenomenologi
dan eksistensialisme) dapat diterima, meski tidak sepenuhnya. Manusia dalam
pandangan islam bukan dilihat sebagai objek tetapi subjek. Ia menempati posisi terhormat
sebagai sebaik-baik ciptaan.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat
at-Tiin ayat 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ
تَقْوِيمٍ.
Artinya:
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Kelahirannya di bumi
sebagai khalifah merupakan peran yang nanti ia pertanggung jawab bukan saja
pada diri dan komunitasnya saja, tetapi kepada semesta alam untuk membuatnya
damai dan tenteram.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat
al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا
تَعْلَمُونَ.
Manusia bertanggung
jawab untuk menunaikan amanat yang dipikulkan
dalam pencarian makna hidup, relatifitas manusia menyadarkannya tentang
otoritas wahyu, sehingga hekekat hidup menjadi betul-betul bermakna sebagaimana
Tuhan berencana terhadap kehadirannya pada pertama kali menciptakan manusia.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat
al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ
فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
Bukan sekedar Viktor
E.Frank l yang berujar: “Will to Meaning” yang tanpa arah. Jadi,
disini islam memandang manusia bukan saja harus menjaga hubungan baik dengan
sesamanya “حبل من النَاس”. Atau kata Martin
Buber: “I Thou Relationship”, tetapi juga menjaga hubungan baik dengan Tuhan “حبل من الله”. Dan hakikat penciptaannya tiada lain
hanyalah sebagai hamba yang harus taat pada ربَ
العالمين “ Rabb Semesta Alam”.
Pandangan Islam tentang Eksistensi
Manusia
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ
أَمْشَاجٍ نبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا. إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا
وَإِمَّا كَفُورًا.
Artinya:
“Sungguh
kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang
lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan : 2-3)
Berbicara mengenai eksistensi
manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat beberapa hal yang
memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti yang terdapat pada
ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya manusia diberikan
kebebasan untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk hidup yang jelas
Allah SWT telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus, apabila kemudian
mereka (manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada manusia itu
sendiri. Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada manusia untuk
dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya.
Dalam memandang
kebebasan menusia untuk berbuat sesuatu untuk hidupnya psikologi eksistensi
juga mengungkapkan hal tersebut, manusia akan hidup dalam eksistensinya
walaupun dengan pilihan hidup yang otentik dan tidak otentik manusia itu
sendiri juga yang memilihnya. Namun ada hal yang tidak dapat ditemukan oleh
pemakalah dalam eksistensi manusia itu sendiri. Yaitu dari mana manusia itu
berasal sehingga bisa menjadi ada-di-dunia atau disebut Dasein. Manusia tidak
memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi
terlepas dari manusia. Tidak ada penjelasan bagaimana manusia dan dunia bisa
ada. Kami memang menemukan aspek “tuhan” serta ‘spiritual’ pada analisa mimpi
yang dilakukan oleh Boss akan tetapi penjelasan aspek tersebut tidak ditemukan.
Seolah-olah manusia dan dunia muncul dengan begitu saja kemudian manusia itu
menyadari keberadaannya maka dia ‘ada’. Sedangkan dalam ayat diatas jelas
manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur oleh Allah SWT.
Begitu pula dalam surat Ar-Rahman ayat 3,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ.
Artinya: “Dia
menciptakan manusia”
Serta pada
ayat 7&10:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ
الْمِيزَانَ.
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ.
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ. وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ.
“Dan langit
telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan.(7) Dan bumi telah
dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”.
Bahwa manusia dan dunia
adalah hasil ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja ada. Memang dalam teori
in terdapat konsep transendensi, akan tetapi pengertian transendensi disini
menekankan pada cara manusia untuk melampaui/mengatasi permasalahan dunianya.
Fenomenologi
Hubungan antara esensi dan manifestasi ini menyediakan dasar bagi pemahaman
tentang bagaimana agama, dalam keberagamannya, dapat difahami sebagai entitas
yang berbeda. Ia juga, berdasarkan pada realitas transenden, yang tidak
terpisah dari namun dapat dilihat dalam dunia, memberikan kepercayaan kepada
pentingnya agama sebuah obyek studi karena kontribusi yang bisa diberikan
kepada pengetahuan “Sciencetific”. Fenomenologi Agama pada awal
kemunculannya bertujuan memperoleh pengatahuan tentang gejala-gejala agama.
Kemudian berusaha memahaminya, dan pada akhirnya menemukan esensi (wussen)
agama.
Di samping itu fenomenologi agama berupaya untuk menjahui
penndekatan-pendekatan sempit, etnonsentris, dan normatif agama. Ia berupaya
mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin. Dalam
penggambaran, analisa dan interpretasi makna, ia berupaya untuk menunda
penilaian tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia
berupaya menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti
yang muncul dalam pengalaman keberagamaan oranglain.Metode fenomenologi agama
terdiri atas tujuh fase:
1. Klasifikasi, yaitu menamai gejala yang muncul.
2. Mengikutsertakan gejala itu ke dalam kehidupan
kita, karena yang muncul itu selalu merupakan sebuah tanda dengan arti yang
pasti, dan yang harus diinterpretasi.
3. Epoche, yaitu pengurungan (bracketing)
sementara semua pertimbangan nilai
normatif.
normatif.
4. Mencari esensi gejala dan tipe ideal hubungan
struktur-struktur.
5. Das Versehen, yaitu mengerti dan memahami gejala-gejala
agama.
6. Mengadakan koreksi terhadap hasil
penelitiannya.
7. Memberikan kesaksian terhadap hasil
penelitiannya.
Para ilmuwan mempunyai
cara pandang yang berbeda terhadap pemahaman fenomenologi agama. Pandangan
terhadap fenomenologi agama ini bisa secara berkelompok maupun secara individu.
adi dari sini bisa dipahami, bahwa Fenomenologi agama adalah studi agama dengan
cara membandingkan berbagai fenomena yang sama dari berbagai agama untuk
memperoleh prinsip universal. Dalam upaya itu, prinsip kerja fenomenologi
Huserl khususnya epokhe eiditis dipergunakan. Ia juga bisa dipahami sebagai
pendekatan terhadap persoalan-persoalan agama dengan mengkoordinasikan data
agama, menetapkan hubungan, dan mengelompokkkan data berdasar hubungan tersebut
tanpa harus mengadakan komparasi tipologi santar berbagai gejala agama.
Dari sisi metodologi, Fenomenologi agama adalah suatu
metode pendekatan dalam studi agama dengan tanpa memperhatikan sejarah suatu
agama, tetapi yang diperhatikan adalah bagaimana agama menampakkan diri.
Fenomena agama atau gejala yang dengannya agama menampakkan diri menjadi
perhatian utama dalam rangka memahami hakikat agama. Dengan metode
fenomenologi, dicoba ditemukan struktur dasariah agama yang meliputi isi
fundamental, sifat hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek lain
yang disadari. Fenomenologi agama tidak hanya ingin mendeskripsikan fenomena
yang ditelaah, tidak juga hanya menerangkan hakikat filosofis fenomena, lebih
dari itu suatu fenomena religius diberi arti secara lebih mendalam sebagaimana
dihayati manusia religius. Fenomenologi agama seperti itu adalah dalam rangka
menghindari bias subjektif dan ketidaksesuaian antara penyelidikan dengan
kenyataan agama sebagai suatu yang dialami dan dihayati.
B.
Kesimpulan Revisi dan Analisis
Eksistensialisme adalah aliran filsafat
yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Aliran ini berpedirian bahwa
filsafat memang harus bertitik tolak pada manusia konkrit, yakni manusia
sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini, maka bagi manusia
eksistensi itu mendahului esensi.
Eksistensialisme mempersoalkan
keber-ada-an manusia, dan keber-ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Kaum
eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji.
Baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri
untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka
diri terhadap pengalaman, dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan
filsafat, teori, atau keyakinan kita.
Walaupun terdapat beberapa sisi
positif dari pemikiran ini tetapi ada pula kelemahan dari pemikiran ini, yaitu:
1.
Etika pemikiran ini terperosok ke
dalam pendirian yang individualisme,
2.
Mengabaikan tata tertib dan
peraturan serta hukum,
3.
Selalu mengambil sikap dengan dasar
kebebasan, dan
4.
Amat memperhitungkan situasi tapi
mudah goyah.
Dalam ajaran filsafat ini, dapat
diambil sebuah ajaran pokok bahwa manusia merupakan tonggak utama untuk
menggerakkan ketentuan dalam keberadaannya sendiri. Padahal manusia hanyalah
salah satu makhluk yang diciptakan oleh
Tuhan. Dengan demikian, maka Tuhanlah yang mempunyai kedudukan sebagai
“Penggerak Pertama” atau “Penggerak yang Tak Tergerakkan”, karena segala sesuatu
di dunia ini pasti ada yang menciptakan dan tidak mungkin suatu akibat muncul
begitu saja tanpa disertai dengan sebab.
Dengan demikian, maka Thomas Aquinas
dengan tegas menyatakan, “Manusia tidaklah menciptakan nilai dan norma
sosialnya sendiri, atau dengan kata lain, manusia tidaklah berada pada “Proses
penciptaan yang terus-menerus dan berulang-ulang pada dirinya sendiri”,
melainkan sekedar “menemukan” serta kembali “menemukan” secara terus-menerus
dan berulang-ulang tanpa henti. Pandangan Islam tentang eksistensi manusia
adalah sebagai berikut:
إِنَّا
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ
سَمِيعًا بَصِيرًا. إِنَّا هَدَيْنَاهُ
السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا.
Artinya:
“Sungguh
kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang kami
hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia
mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang
lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan : 2-3)
Berbicara mengenai eksistensi
manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat beberapa hal yang
memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti yang terdapat pada
ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya manusia diberikan kebebasan
untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk hidup yang jelas Allah SWT
telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus, apabila kemudian mereka
(manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada manusia itu sendiri.
Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada manusia untuk
dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya.
Serta pada
ayat 7&10:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ
الْمِيزَانَ.
أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ.
وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ. وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ.
“Dan langit
telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan.(7) Dan bumi telah
dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”.
Bahwa manusia dan dunia adalah hasil
ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja ada. Memang dalam teori in terdapat
konsep transendensi, akan tetapi pengertian transendensi disini menekankan pada
cara manusia untuk melampaui/mengatasi permasalahan dunianya.
Fenomenologi adalah sebuah studi
dalam bidang filsafat
yang mempelajari manusia
sebagai sebuah fenomena.
Aliran ini berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya
dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan
fenomena.
Ilmu fenomonologi dalam filsafat
biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti
daripada fenomena ini. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas
fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal
dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa
yang kita alami. Sumber pengetahuan dan kebenaran difokuskan pada obyek itu
sendiri, tanpa meninggalkan kenyataan yang tampak pada obyek tersebut.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk
mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat
segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi.
Adapun tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang
murni, yaitu:
1. Membebaskan diri dari anasir atau unsur
subjektif,
2. Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan
hipotesis, serta
3. Membebaskan diri dari doktrin-doktrin
tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang
pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal,
fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal
yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi
kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita
hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak.
Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya
dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa
pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Husserl mengajukan dua langkah yang
harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich
vision. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu:
1. Method of Historical Bracketing; metode yang mengesampingkan
aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan
sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of Existensional Bracketing; meninggalkan atau abstain
terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of Transcendental Reduction; mengolah data yang kita
sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of Eidetic Reduction; mencari esensi fakta, semacam
menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas
itu. Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada
hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Jadi, penelitian yang diajarkan
dalam aliran filsafat ini adalah mempelajari apa yang ada di balik obyek
tersebut, bukan diteliti berdasarkan apa yang tampak secara dhohir. Oleh
karenanya, harus dibebaskan terlebih dahulu dari semua hal yang berhubungan
dengan obyek tersebut seperti semua unsur subyektif yang meliputinya, ciri-ciri
instrinsik dari fenomena yang akan diteliti, sehingga pada fenomena tersebut nantinya
hanya tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi selanjutnya
diteliti secara obyektif.
Fenomenologi dapat mendeskripsikan
fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori
dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari,
baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap
pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang
objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan
pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang
diamati.
Dibalik kelebihan-kelebihannya,
fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan
fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada
pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu
pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui
bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi
bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan
bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis
status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau
penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang
ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan
adalah sementara dan relatif.
Dalam pandangan islam, dengan
tampilnya psikologi humanistik (yang dipengaruhi filsafat fenomenologi dan
eksistensialisme) dapat diterima, meski tidak sepenuhnya. Manusia dalam
pandangan islam bukan dilihat sebagai objek tetapi subjek. Ia menempati posisi
terhormat sebagai sebaik-baik ciptaan.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat
at-Tiin ayat 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ
تَقْوِيمٍ.
Artinya:
“Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Kelahirannya di bumi sebagai khalifah
merupakan peran yang nanti ia pertanggung jawab bukan saja pada diri dan
komunitasnya saja, tetapi kepada semesta alam untuk membuatnya damai dan
tenteram.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat
al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ
نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا
تَعْلَمُونَ.
Manusia bertanggung jawab untuk
menunaikan amanat yang dipikulkan dalam
pencarian makna hidup, relatifitas manusia menyadarkannya tentang otoritas
wahyu, sehingga hekekat hidup menjadi betul-betul bermakna sebagaimana Tuhan
berencana terhadap kehadirannya pada pertama kali menciptakan manusia.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat
al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ
فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ
إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
Bukan sekedar Viktor E.Frank l yang
berujar: “Will to Meaning” yang tanpa arah. Jadi, disini islam memandang
manusia bukan saja harus menjaga hubungan baik dengan sesamanya “حبل من النَاس”. Atau kata Martin Buber: “I Thou
Relationship”, tetapi juga menjaga hubungan baik dengan Tuhan “حبل من الله”. Dan hakikat penciptaannya tiada lain
hanyalah sebagai hamba yang harus taat pada ربَ
العالمين “ Rabb Semesta Alam”.
DAFTAR
PUSTAKA
Poeja, Wijatna. 2005. Pembimbin ke Arah
Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarsono, Drs. 1993. Ilmu Filsafat Suatu
Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Maksum,
Ali. 2008. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media.
Muntansyir, Riza dkk. 2004. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.