Sabtu, 03 November 2012

AKHLAQ TASAWWUF


MAKALAH
MAQAMAT DAN AHWAL


Dosen Pembimbing:
Dr. H. M. Ali Mas’ud, M. Ag
Penyusun:
Faizah Alif     D91211149

FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011-2012




BAB II
PEMBAHASAN

A. Maqamat
            Secara harfiah, maqamat merupakan jamak dari kata maqam yang berarti tempat berpijak atau pangkat mulia.[1] Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah Stages yang berarti tangga.[2] Sedangkan dalam ilmu tasawuf maqamat adalah suatu konsep dalam Ilmu Tasawuf yang digunakan oleh para peserta Tasawuf (al-Mutasawwif) untuk mengukur keberadaan tingkat spiritualnya dari satu maqam kepada maqam yang lebih tinggi tingkatannya. Istilah maqamat dan tidak pernah ditemukan dalam kegiatan Tasawuf pada masa Sufi Salaf, tetapi inti ajarannya sudah diamalkan oleh Sufi Sahabat sejak masa Rasulullah SAW. Istilah tersebut, baru dikenal namanya pada masa perkembangan Tasawuf abad II H, yang sebagian ahli Tasawuf mengatakan, bahwa istilah itu mulai dipopulerkan oleh Dhu al-Nun al-Misri sebagai Sufi Sunni.[3]
            Syekh Abu Nashr as-Saraj al-Tusi mengatakan, ketika kita ditanya oleh orang lain tentang pengertian maqamat, maka jawabanya adalah suatu kedudukan hamba di hadapan Allah Azza Wa Jalla, dari hasil ibadah, mujahadah (perjuangan spiritual), riyadah (latihan spiritual), dan konsentrasi diri untuk mencurahkan segala-galanya hanya untuk Allah SWT. Yang semuanya senantiasa ia lakukan.[4] Hal ini, berdasarkan dengan tuntunan al-Qur'an suraIbrahim ayat 14 dan surat al-Saffat ayat 164.
     QS. Ibrahim: 14
ذَالِكَ لِمَنْ خَافَ مَقَامِى وَخَافَ وَعِيْدٍ.
            dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku”.
    
     Q.S. As-Saffat: 164
وَمَا مِنَّا اِلاَ لَهُ مَقَامُ مَعْلُوْمُ.
        Tiada seorangpun di antara kami (malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu”.

            Menurut al-Ghazali yang diuraikan dalam kitabnya, Ihya' 'Ulum ad-Din, maqamat terdiri dari delapan tingkat, yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakkal, mahabbah, ridha dan ma'rifat.[5] Ada beberapa peneliti tasawuf yang memperoleh data dari sufi yang diteliti, bahwa tingkatan maqam itu ada seratus, dan ada pula yang mengatakan empat puluh, yang disebut maqamat al-Arba'in. Kedua pendapat ini ternyata tidak membedakan antara maqam dan hal, karena dipandang keduanya merupakan kondisi spiritual hamba yang berfungsi untuk mengantarkan peserta Tasawuf untuk mencapai tujuannya, misalnya pendapat Sahl bin 'Abdillah al-Tustari, Abu Talib al-Makki, al-Junayd bin Muhammad, Abu 'Uthmah al-Naysaburi, Yahya bin Mu'az, Abu Sulayman al-Darani dan 'Aun bin 'Abdillah.[6] Tanjakan maqam yang begitu banyak, dengan menelan kesunguhan tenaga dan waktu yang banyak pula, dapat diperoleh dengan latihan dhikir dan tafakkur (merenung), yang jumlahnya banyak menurut penetapan masing-masing ahli tarekat.
            Dari beberapa penulis Tasawuf yang menetapkan sekian banyak jumlah tingkatan maqamat, maka kajian ini hanya menampilkan pendapat Syekh Abu Nashr as-Saraj al-Tusi yang mengatakan jumlah tingkatan maqamat hanya tujuh (al-maqamatu al-Sab'ah), sejalan dengan pendapat A'la al-Dawlah al-Sammani yang mengatakan, bahwa bilangan tujuh tingkatan maqam tersebut, sesuai dengan jumlah tujuh orang Nabi yang memiliki kondisi spiritual yang sama dengan tingkatan maqam yang akan dikemukakan dalam kajian ini, dengan tidak mengemukakan nama-nama Nabi yang dimaksud.
       Tujuh tingkatan maqam yang dimaksud oleh Syekh Abu Nashr as-Saraj al-Tusi, adalah taubat (al-Tawbah), meninggalkan hal-hal yang syubhat (al-Wara'), meninggalkan pengaruh kesenangan dunia (al-Zuhud), hidup dalam keadaan fakir (al-Fakru), sabar ( al-Sabru), rela menerima ketentuan Allah (al-Rida), dan menyerahkan segala urusan kepada Allah (al-Tawakkul).[7] Tujuh macam tingkatan spiritual tersebut akan diterangkan berikut ini:
1.    Taubat
       Taubat berasal dari bahasa Arab تَابَ يَتُوْبُ تَوْبَةً yang berarti kembali dan penyesalan.[8] Sedangkan pengertian taubat bagi kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan kebajikan yang dianjurkan oleh Allah Swt.[9]
          Sedangkan Taubat menurut Dzun Nun al-Misri dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a.         Orang yang bertaubat dari dosa dan keburukan,
b.        Orang yang bertaubat dari kelalaian mengingat Allah SWT, dan
c.         Orang yang brtaubat karena memandang kebaikan dan ketaatanya.[10]
           Dan dari ketiga tingkatan taubat tersebut,yng dimaksud sebagai maqam dalam tasawuf adalah upaya taubat , karena merasakan kenikmatan batin.
       Berkaitan dengan maqam taubat, dalam al-Qur'an terdapat  ayat yang menjelaskan tenteng masalah ini di antaranya adalah  surat An-nur ayat 31.

وَتُوْبُوْااِلَى اللهِ جَمِيْعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
       “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. 
       Adapun bertaubat dari dosa yang berhubungan dengan Allah itu syarat-syaratnya ada tiga, yaitu:
a. الندم  artinya menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan.
b. الإِقْلاع  artinya meninggalkan dosa-dosa yang telah dilakukan.
c. العزم artinya niat yang kuat untuk tidak melakukan dosa-dosa itu lagi.
       Sedangkan taubat yang berhubungan dengan manusia itu syarat-syaratnya ada empat, yaitu:
a. الندم artinya menyesali dosa-dosa yang telah dilakukan.
b. الاقلاع artinya meninggalkan dosa-dosa yang telah dilakukan.
c. العزم  artinya niat yang kuat untuk tidak melakukan dosa-dosa itu lagi.
d. البرأة artinya bersih diri dari semua hak adami.[11]
2. Wara’
            Pengertian wara’ dalam pandangan sufi adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak jelas hukumnya, baik yang menyangkut makanan, pakaian, maupun persoalan lainnya.[12]sedangkan menurut Yahya bin Ubaid, wara’ adalah menolak segala macam hal yang tidak jelas status hukumnya, dengan cara selalu muhasabah (mengendalikan diri).[13] Sedangkan menurut Ibrahim bin Adham, wara’ yaitu meninggalkan segala sesuatu yang meragukan dan tidak berarti, dan apapun yang berlebihan.[14] Rasulullah SAW telah bersabda:
     ............................................................................
     Artinya: Tiang penyangga agamamu adalah wara’ (H.R Thabrani dan as-Suyuti)
                 Sementara itu orang-orang wara’ dibagi menjadi 3 tingkatan:
            a. Wara’ (menjauhkan diri) dari syubhat, dimana hukumnya masih belum jelas antara yang benar-benar halal dengan yang benar-benar haram. Dan ia juga berusaha untuk menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak bisa diharamkan atau dihalalkan secara mutlak.
            b. Wara’ (menjauhkan diri) dari sesuatu yang menjadi keraguan hatinya dan ganjalan yang ada di dadanya.
            c. Orang-orang arif dan sanggup menghayati dengan hati nuraninya. Ini sebagaiman yang dikatakan Abu Sulaiman ad-Darani “Segala sesuatu yang menjadikan anda lalai dengan Allah maka itu merupakan bencana bagi anda”.
                        Dengan demikian, maka tingkatan wara’ yang pertama adalah tingkatan wara’ kaum awam, yang kedua adalah wara’ kaum khusus, dan yang ketiga adalah wara’ kaum yang lebih khusus dari mereka yang khusus.[15]
3. Zuhud
                   Zuhud menurut bahasa ialah meninggalkan sesuatu dan berpaling darinya, tanpa kecenderungan dan keinginan padanya.[16] Menurut pandangan para sufi, zuhud secara umum diartikan sebagai suatu sikap melepaskan diri dari rasa ketergantungan terhadap kehidupan duniawi dengan mengutamakan kehidupan ukhrawi.[17]
                   Sedangkan menurut Syekh Junaid al-Baghdadi, zuhud yaitu menganggap remeh dunia dan menghapus pengaruh-pengaruh dunia dari hati. Berbeda dengan pendapat Sayyid Muhammad Syato ad-Dimyati yang berpendapat bahwa zuhud adalah tidak terpengaruhnya hati dengan harta, bukan tidak adanya harta.[18]  Derajat zuhud tetinggi yaitu tidak menyukai segala sesuatu selain Allah, bahkan terhadap akhirat.[19]
                   Jadi, zuhud itu yaitu menganggap remeh dunia seluruhnya, dan menganggap remeh semua persoalan yang ada di dunia. Maka barangsiapa yang punya anggapan bahwa dunia itu remeh, maka dunia itu hina baginya, kemudian dia tidak merasa senang mempunyai sedikitpun dari dunia itu, dan dia tidak mengambil dari dunia ini kecuali sesuatu yang berguna untuk beribadah, dan dia selalu disibukan dengan dzikir dan mengingat akhirat. Hal ini adalah kondisi zuhud yang paling tinggi, maka barangsiapa yang sampai pada derajat ini, maka tubuhnya berada di dunia sedangkan roh dan akalnya di akhirat.[20]
                        Sementara itu orang-orang zuhud terbagi menjadi 3 tingkatan:
a. Zuhud umum, ialah berpaling dari dunia untuk sampai pada kebahagiaan akhirat. Pemilik maqam ini berada dalam tawanan syahwat, tetapi dengan hukum akal, ia meninggalkan syahwat yang hina untuk sampai pada kesenangan yang kekal dan mulia.
b. Zuhud khusus, ialah orang-orang yang sanggup mengaktualisasikan kebenaran secara hakiki dalam berzuhud. Menurut Ruwaim bin Ahmad, zuhud yaitu meninggalkan kepentingan-kepentingan nafsu dari seluruh bagian yang ada di dunia.
c. Zuhud akhshashul khowash, ialah berpaling dari kelezatan rohaniyah dan meninggalkan kenikmatan-kenikmatan jasmani untuk mencapai keindahan Al-Jamil dan menuju hakikat-hakikat ma’rifat.[21]
                 Berkaitan dengan konsep zuhud, dalam Al-Qur’an terdapat ayat yang menjelaskan hal itu, diantaranya: Q.S : 77 
قُلْ مَتَاعُ الدُّنْيَا قَلِيْلٌ وَالأَخِرَةُ خَيْرٌ لِمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُوْنَ فَتِيْلاً. 
       “Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertaqwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.[22]
4. Faqr
                        Ibrahim bin Ahmad al-Khawash berkata, “ Kefakiran itu selendang kemuliaan, pakaian para rasul, jubah orang-orang saleh, mahkota orang-orang yang bertaqwa, perhiasan orang-orang mukmin, pengangkat derajat, dan kemuliaan orang-orang baik yang menjadi walinya. Kefakiran adalah simbol orang-orang saleh dan kebiasaan orang-orang bertaqwa.”[23] Dalam pandangan sufi, faqr diartikan tidak menuntut lebih banyak dari apa yang telah dimiliki dan merasa puas dengan apa yang dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain.[24] Sedangkan menurut Al-Ghazali kefakiran diartikan sebagai ketak-tersedianya apa yang dibutuhkan oleh seseorang atau sesuatu. Maka dalam arti ini, seluruh wujud selain Allah adalah fakir karena mereka membutuhkan bantuan tuhan untuk kelanjutan wujudnya.[25]Sementara itu, Allah telah menyebutkan sifat-sifat orang fakir dalam al-qur’an:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِيْنَ أُحْصِرُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ  لاَ يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْبًا فِى الأَرْضِ يَحْسَبُهُمْ الْجَاهِلُ اَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمَاهُم لاَ يَسْئَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا.

       “ Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui”.[26]

                 Orang-orang fakir juga memiliki tiga tingkatan, antara lain:
a. orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak meminta apa pun kepada seseorang, baik secara lahir maupun batin. Ia tidak menunggu apapun dari seseorang. Jika diberi sesuatu, ia tidak mengambilnya. Kedudukan spiritual ini adalah kedudukan al-muqarrabuun (orang yang didekatkan pada Allah).
b. orang yang tidak memiliki apapun. Namun ia tidak minta kepada siapapun, tidak mencari dan juga tidak memberi isyarat atas kefakirannya. Jika diberi sesuatu tanpa meminta lebih dahulu maka ia akan mengambilnya.
c. orang yang tidak memiliki apa-apa. Jika ia membutuhkan sesuatu ia akan mengungkapkannya kepada sebagian temannya yang ia kenal, yang mana bila ia mengungkapkan kepadanya ia akan merasa senang. 
5. Sabar
                 Menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetap tenang dalam menghadapi cobaan dan menampakan sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran.[27]Maqam sabar yang dilakukan ahli tasawuf akan mengantarkan untuk mencapai tujuan yaitu dicintai Allah atau bersama dengannya. Yang dapat didasarkan pada QS. 46:35

                  فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَأُولُوا الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلاَ تَسْتَعْجِلْ لَّهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوْعَدُوْنَ لَمْ يَلْبَثُوْا اِلاَّ سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلاَغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ الاَّ الْقَوْمُ الْفَاسِقُوْنَ.

          Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik”.
                 Imam Ghazali menyampaikan pentingnya sabar sebagai sikap yang harus selalu mendasari setiap macam ibadah. Karena dengan sikap tersebut, hamba tidak akan pernah merasakan keberatan menjalankan ibadah, hingga sikap sabar dapat mengantarkan hamba mencapai inti ibadah yang sebenarnya.[28]
                 Menurut pendapat Ibnu Taimiyah, sabar dalam menjauhi maksiat lebih tinggi tingkatannya dari pada sabar dalam menghadapi musibah. Sabar dalam menjauhi maksiat senantiasa dimiliki olehorang-orang yang bertaqwa dan para wali. Demikian juga menurut Sahal at-Tustari, bahwa perbuatan baik itu dapat dilakukan oleh orang baik dan orang dzalim, sedangkan yang mampu bersabar dalam meninggalkan maksiat hanyalah orang-orang yang benar.[29]

6. Tawakal

       Tawakal, secara harfiah , berarti menyerahkan diri. Pengertian umumnya adalah pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Allah setelah melakukan suatu rencana atau usaha.[30]Sikap ini erat kaitannya dengan amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas semata-mata karena Allah dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut Al-Qusyairi, tawakal tempatnya di hati dan terjadi setelah hamba meyakini bahwa segala ketentuan hanya didasarkan pada ketentuan Allah. Semuanya adalah takdir Allah.[31]Sahl bin Abdullah At-Tustari berpendapat bahwa tawakal adalah berpegang teguh kepada Allah dan menerima dengan segenap kepasrahan.[32] Bertawakal termasuk perbuatan yang diperintahkan oleh Allah, sebagaimana dalam firmannya:

وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُوْنَ.
Artinya: ,,,dan Hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harubertawakkal.[33]
Setelah Allah menyebutkan tawakalnya semua orang yang bertawakal (secara umum), kemudian menghususkan tawakalnya orang-orang mukmin, kemudian berikut ini Allah menyebutkan tawakalnya orang-orang yang sangat khusus:

وَيَرْزُقُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ يَحْتَسِبْ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللهَ بَالِغٌ اَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللهُ لِكُلِّ شَئٍ قَدْرًا.
Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah Telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu[34]                                    
Maka orang-orang yang bertawakal itu terbagi dalam tiga tingkatan:
pertama, tawakalnya orang mukmin, didalam syaratnya ada tiga macam, sebagaimana yang dikemukakan oleh Abu Turab an Nakhsyabi tatkala ditanya tentang tawakal,” Tawakal adalah melemparkan diri dalam penghambaan (ubudiyyah), ketergantungan hati dengan sang maha memelihara (rububiyyah), dan tenang dan kecukupan. Jika diberi akan bersyukur, jika tidak diberi tetap bersabar dan rela dengan takdir yang telah ditentukan”.
    Kedua, adalah tingkatan tawakalnya orang-orang khusus, sebagaimana yang di katakan oleh Abu al-Abbas Ahmad bin’Atha’al Adami rahimahullah, “Barangsiapa bertawakal kepada Allah, bukan karena Allah, maka sebenaranya ia bertakwa kepada Allah, dengan Allah dank arena Allah. Ia hanya akan bertawakal kepada Allah dalam tawakalnya, bukan karena faktor atau sebab lain”. 
7. Ridha
  Ridha secara harfiah, berarti rela, senang, dan suka. Adapun ridha menurut Abu Bakar Tahir adalah sikap yang sama sekali tidak terpengaruh oleh keburukan sesuatu yang diterima dari Allah, kecuali selalu disikapi dengan senang hati. Sedangkan menurut Rabi’ah al-Adawiyah, ridha yaitu orang yang selalu senang hati menerima musibah, sama halnya ketika ia sedang menerima nikmat, maka itulah tanda-tanda orang yang ridha.[35]Sebagaimana firman Allah:

رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوْا عَنْهُ.
            Artinya: Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepadanya.[36]
Maksudnya: Allah meridhai segala perbuatan-perbuatan mereka, dan merekapun merasa puas terhadap nikmat yang Telah dicurahkan Allah kepada mereka. Dalam ayat ini disebutkan, bahwa ridha Allah kepada mereka (hamba) jauh lebih besar dan lebih dahulu dari pada ridha mereka kepadanya.
Sementara itu ridha adalah pintu Allah yang paling agung dan merupakan surge dunia. Dimana ridha adalah menjadikan hati seorang hamba merasa tentang di bawah kebijakan hukum Allah Azza wa Jalla.
Sedangkan orang-orang yang ridha itu dibedakan menjadi tiga kondisi:
a. Orang yang berusaha mengikis rasa gelisah dari dalam hatinya, sehingga hatinya tetap stabil dan seimbang terhadap Allah SWT.
b. orang yang tidak lagi melihat ridhanya pada Allah, karena ia hanya melihat ridhanya Allah kepadanya.
c. Ia sudah tidak melihat ridha Allah kepadanya atau ridhanya kepada Allah.[37]
B. Ahwal
     Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti keadaan sesuatu (keadaan rohani).[38] Menurut Syeikh Abu Nashr as-Saraj, hal adalah sesuatu dari kejernihan dzikir yang bertempat dalam hati, atau hati dalam kejernihan dzikir tersebut.[39] Sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang hamba pada suatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata. Jadi dapat disimpulkan bahwa hal adalah suatu keadaan jiwa yang terjadi secara mendadak yang bertempat di dalam hati nurani yang datang akibat dari bersih dan sucinya hati dan bersifat sementara atau tidak lama.
      Hal berlainan dengan maqam, hal tidak menentu datangnya, terkadang datang dan perginya berlangsung cepat, yang disebut lawih dan adapula yang datang dan perinya bersifat lama, yan disebut bawadih. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh melalui usaha, akan tetapi anugrah dan rahmat dari Tuhan. Maqam sifatnya permanen, sedangkan hal sifatnya temporer sesuai tingkatan maqamnya.[40] Sebagaimana halnya dengan maqamat, dalam penentuan hal juga terdapat perbedaan di kalangan sufi, disini kami akan menjelaskan pembagian hal menurut  Syekh Abu Nashr as-Saraj al-Tusi yang dijelaskan dalam kitabnya yaitu al-Luma', berikut pembagian dan penjelasan yang kami sampaikan:
1. Muraqabah
           Menurut kaum sufi, muraqabah yaitu keyakinan seorang hamba bahwa Allah selalu memandang hambanya, baik lahir, batin, dan hatinya.[41]Abdul Aziz al-Dayrayni mengatakan bahwa muraqabah sebagai bagian ahwal dalam tasawuf, berasal dari kemampuan taqwa manusia, yaitu pemahaman diri terhadap pentingnya sikap pengawasan segala perilaku sehari-hari, yang bertujuan untuk mewujudkan rasa malu berbuat buruk, kehebatan sikap dan ketinggian akhlak.[42]
           Muraqabah ini merupakan keadaan hati yang dihasilkan oleh pengenalan terhadap Allah. Keadaan ini akan membuahkan amal perbuatan, baik yang dilakukan oleh anggota badan maupun hati. Menumbuhkan selalu siap dan waspada bahwa dalam keadaan apapun diawasi oleh Allah SWT. memandang bahwa Allah selalu dekat bersama kita dan mengetahui apa yang dilakukan oleh hambanya. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi: QS 2:235

وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهَ يَعْلَمُ مَا فِى اَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوْهُ
                   Menurut Al-Ghazali, seorang yang muraqabah dapat melakukannya sebanyak dua kali, yaitu muraqabah yang dilakukan dengan mengamati seluruh gerak dan diamnya badan serta gerak hati, dan dilakukan dengan mengamati cara dalam melaksanakan amal untuk memenuhi hak Allah dan selalu menyempurnakan niatnya selama menyelesaikan amalnya.[43]
     Orang-orang yang muraqabah dibedakan menjadi tiga tingkatan:
Pertama adalah sebagimana yang dikemukakan oleh al-Hasan bin Ali di atas, dimana tingkatan ini adalah tingkatan kondisi spiritual para pemuda dalam muraqabah.
Tingkatan kedua adalah sebagimana yang diceritakan dari Ahmad bin’Atha’ rahimahullah yang mengantarkan,” sebaik-baik kalian adalah orang yang selalu muraqabah kepada al-haq dengan al-haq dalam kefanaan apa yang selain al-haq dan mengikuti sang Nabi pilihan saw. Dalam segala perbuatan, akhlak dan adab beliau”.
Adapun tingkat ketiga adalah tingkatan orang-orang besar. Mereka selalu muraqabah kepada Allah swt. Dan memohon kepada Nya agar dia senantiasa memelihara mereka untuk bisa selalu ber-muraqabah. Karena Allah telah mengistemawakan orang-orang pilihan-Nya dan orang-oarang khusus dengan spritualnya kepada seorang pun. Sebab dialah yang menguasai dan melindungi segala urusan mereka.[44]
2. Qurbah
            Kondisi spiritual qurbah (kedekatan) bagi seorang hamba adalah menyaksikan dengan mata hatinya akan kedekatan Allah swt. Sehingga ia akan melakukan pendekatan diri kepada Allah dengan ketaatan-ketaatan dan seluruh perhatiannya selalu terpusatkan dihadapan Allah dengan selalu mengingatnya dalam segala kondisinya. Baik secara lahiriyah maupun rahasia hati.
            Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an: Al-baqarah 186
           
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيْبٌ.
     Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.
     Orang-orang yang memilki kondisi spiritual qurbah ini bedakan menjadi tiga kondisi:
Di antara mereka ada yang mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan melakukan berbagi macam kataatan. Sebab meraka tahu, bahwa Allah Maha mengetahui mereka, dekat dengan mereka dan kekuasaan-Nya di atas mereka.
Di antara mereka juga ada orang yang sanggup mengaktualisasikannya secara hakiki. Sebagimana yang diucapkan oleh Amir bin Abdul Qais,” setiap kali saya melihat sesuatu tentu saya melihat Allah lebih dekat dengannya daripada saya sendiri.”
Al-Junaid rahimahullah berkata, “perlu Anda ketahui, bahwa dia dekat dengan hati para hamba-Nya sesuai dengan kadar kedekatan hati para hamba dengan-Nya para hamba dengan-Nya.[45]
3. Mahabbah
            Mahabbah berasal dari kata احبّ يحبّ محبّة yang berarti mencintai secara mendalam. Mahabbah pada tingkatan selanjutnya dapat diartikan suatu usaha sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniah tertinggi dengan terwujudnya kecintaan yang mendalam kepada Allah.[46]As’ad al-Sahmarani mengatakan bahwa mahabbah yang dimaksud disini adalah keinginan hamba yang sangat memuncak untuk menemui tuhannya, sehingga segala kecintaan terhadap yang lain sama sekali terlupakan. Jadi, mahabbah itu merupakan suatu perasaan cinta yang sangat mendalam bagi seorang hamba, agar bisa bertemu dengan Allah SWT.
            Berdasarkan firman Allah dalam QS. Ali Imran 31
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِى يُحْبِبْكُمُ اللهَ.
            Berdasarkan ayat di atas, Sahal al-Tustari menafsirkan kata tersebut dengan mengatakan:
a.         Tanda-tanda orang yang mencintai Allah, adalah mencintai Al-Qur’an.
b.        Tanda-tanda orang yang mencintai Al-Qur’an, adalah mencintai Rasulullah.
c.         Tanda-tanda orang yang mencintai Rasulullah, adalah mencintai Sunnahnya.
d.     Tanda-tanda orang yang mencintai Allah, Rasulnya, Sunnah Rasul, pasti ia juga  mencintai akhirat.
e.     Tanda-tanda orang yang mencintai akhirat, maka mencintai juga dirinya.
f.      Tanda-tanda orang yang mencintai dirinya, tidak membenci akhirat.
g.     Tanda-tanda orang yang membenci kehidupan dunia, adalah orang yang hanya sekedar mencari kehidupan dunia karena kepentingan untuk menjadi bekal kehidupan akhirat dan menjadi sarana untuk sampai kepada Allah.[47]
Orang-orang yamg mempunyai kondisi spiritual Mahabbah ini dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a.         Mahabbahnya orang-orang awam, dimana mahabbah ini lahir karena kebaikan dan kasih sayang Allah. Sebagaimana sabda Nabi SAW: 119
جُلِبَتِ الْقُلُوْبُ عَلَى حُبِّ مَنْ اَحْسَنَ اِلَيْهَا وَبُغْضِ مَنْ اَسَاءَ اِلَيْهَا. 
Artinya: Hati manusia diciptakan sesuai dengan kodratinya untuk cenderung mencintai kepada orang yang berbuat baik kepadanya, dan membenci kepada orang yang berbuat jahat kepadanya.
b.        Cinta yang muncul karena hati yang selalu melihat pada keagungan dan kebesaran Allah, ilmu dan kekuasaannya, dimana dia maha kaya yang tidak membutuhkan apapun.
c.         Cintanya orang-orang yang benar-benar jujur (ash-shiddiqin) dan orang-orang arif (al-‘arifin). Dimana rasa cintanya muncul karena mereka melihat dan mengetahui keqadiman cinta Allah yang tanpa sebab dan alasan apapun.[48]
4. Khauf
            Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Menurut Al-Ghazali, Khauf adalah rasa sakit dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenangi di masa mendatang.[49] Jadi, khauf itu merupakan keadaan hati yang merasa takut kepada Allah yang diakibatkan telah menyaksikan kebesaran, keagungan, dan kekuasaan Allah SWT.
            Rasa takut dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a.         Rasa takut yang dibarengi dengan keimanan. Ini adalah rasa takutnya orang-orang yang mulia.
b.        Rasa takut karena terputus hubungan dengan Allah, ini adalah rasa takutnya orang-orang kelas menengah.
c.         Rasa takutnya orang-orang awam, dimana mereka ada yang takut murka dan siksa Allah.
5. Raja’
                        Raja’ adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan atau disenangi, sebagaiman Al-Ghazali mendefinisikannya dengan suatu keadaan dimana hati merasa nyaman karena menanti sesuatu yang dicintai atau di dambakan. Sikap ini mendorong seseorang untuk berbuat ketaatan dan mencegah kemungkaran.
                        Ketahuilah, bahwa perbuatan berdasarkan raja’ (harapan) lebih tinggi kedudukannya daripada perbuatan berdasarkan khauf (takut). Karena hamba-hamba yang paling dekat dengan Allah adalah mereka yang dicintainya, sedangkan kecintaan timbul karena adanya suatu raja’.[50]
                        Sebagaiman firman Allah dalam Al-Qur’an QS. Al-kahfi 110
                
فَمَنْ كَانَ يَرْجُوْا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَ يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ اَحَدًا.

                        Raja’ dibagi menjadi tiga tingkatan:
a.         Berharap kepada Allah, yaitu seorang hamba yang sanggup mengaktualisasikan harapannya kepada Allah secara hakiki. Maka ia tidak berharap apapun kecuali hanya Allah SWT.
b.        Berharap keluasan rahmat Allah.
c.         Berharap pahala Allah, adapun berharap keluasan rahmat dan pahala Allah ini merupakan tingkatan seorang hamba (murid) yang berkeinginan merambah jalan Allah.[51]
6. Syauq
                   Ibnu Khafif berkata, Syauq adalah ketergantungan hati terhadap Allah karena sangat merindukan pertemuan dengan Nya. Karena itu, ia mengatakan bahwa kondisi Syauq adalah pendalaman kondisi Mahabbah, yang disebut محبّة اللقاء بالقرب.[52] Sebagian kaum sufi mengatakan bahwa Syauq adalah api Allah yang dinyalakan dalam hati para walinya, sehingga membakar pikiran, keinginan, bisikan-bisikan jiwa dan kebutuhan yang ada dalam hati mereka.
                   Orang-orang yang rindu kepada Allah dibedakan menjadi tiga kondisi, yaitu:
a.         Mereka yang merindukan pahala, kemuliaan, keutamaan dan ridha yang telah di janjikan Allah.
b.        Mereka yang hanya merindukan kekasihnya semata. Sebab cintanya sangat membara dan jenuh untuk tetap tinggal di dunia, maka ia sangat rindu untuk bertemu dengan Nya.
c.         Mereka yang rindu untuk menyaksikan kedekatan dengan Allah.[53]
7. Uns (Suka Cita)
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi merupakan sifat selalu berteman, tak pernah merasa sepi. Dalam keadaan seperti ini, seorang sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya, sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya. Situasi kejiwaan seperti itulah yang disebut dengan al-Uns. [54]
Syekh Abu Nashr as-Sarraj ra. berkata: Makna uns (suka cita) dengan Allah SWT. adalah ketergantungan diri kepada-Nya, menaruh kepercayaan kepada-Nya dan meminta bantuan kepada-Nya. Sementara tidak ada ungkapan lain yang lebih tepat dari ungkapan di atas.
Uns (bersuka cita) dengan Allah bagi seorang hamba adalah tingkatan paripurna kesuciannya dan kejernihan dzikirnya, sehingga ia merasa cemas dan gelisah dengan segala sesuatu yang melupakannya untuk mengingat Allah. Maka pada saat itulah ia sangat bersuka cita dengan Allah SWT.
       Orang-orang yang merasakan uns (suka cita) dengan Allah dibedakan menjadi tiga        kondisi:
a.         mereka yang merasakan suka cita dengan berdzikir (mengingat) Allah dan merasa gelisah di saat lalai. Merasa senang disaat berbuat ketaatan dan gelisah di saat berbuat dosa.
b.        Seorang hamba yang merasa senang dengan Allah dan gelisah terhadap bisikan-bisikan hati, pikiran, dan segala sesuatu selain Allah yang akan menghalangi dan melupakannya untuk bermesra dengan-Nya.
c.         tidak lagi melihat suka citanya karena adanya wibawa, kedekatan, kemuliaan, dan mengagungkan disertai dengan suka cita[55]
8. Thuma’ninah (Ketenangan)
            Thuma’ninah dalam arti bahasa adalah rasa tenang. Sedangkan menurut Syekh Ahmad al-Kamasykhonawi adalah ketenangan jiwa/hati yang dikuatkan oleh rasa aman yang muncul dari keyakinan yang mendekati kenyataan yang disertai rasa tenang bersama dengan Allah yang terus menerus.[56]
            Ketenangan jiwa/hati ini dapat terpelihara apabila hati selalu ingat kepada Allah terus menerus. Karena orang yang selalu ingat kepada Allah terus menerus akan selalu disertai Allah. Dan barangsiapyang ingat kepada Allah, maka Allah akan selalu ingat kepadanya. Sebagaimana firman Allah: QS ar ra’du 28

الَّذِيْنَ اَمَنُوْا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوْبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ. اَلاَ بِذَكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ القُلُوْبُ.
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
Dan dalam hadits qudsi:


            “Aku bersama hambaku selama ia mengingat ku dan kedua bibirnya bergerak gerak menyebut Aku”
            Sementara itu, thuma’ninah (ketenangan) dibedakan menjadi tiga macam:
a.         Ketenangan bagi kaum awam. Sebab di saat mereka berdzikir kepada Allah, mereka merasa tenang dengan berdzikir kepada-Nya. Maka bagian yang mereka dapatkan dari dzikir tersebut adalah dikabulkannya doa-doa mereka dengan diperluas rezekinya dan dihindarkan dari bencana.
b.        Ketenangan bagi orang-orang khusus, karena mereka rela dan senang atas keputusan (takdir)-Nya, sabar atas cobaan-Nya, ikhlas, taqwa, tenang, dan merasa mantap dengan firman Allah:
اِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا وَالَّذِيْنَ هًمْ مُحْسْنُوْنَ.
Sesungguhnya Allah bersama oang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. an-Nahl:128).
c.    Golongan yang paling khusus. Mereka tahu bahwa rahasia-rahasia hati mereka tidak sanggup merasa tentram kepada-Nya dan tidak bisa tenang kepada-Nya, karena keagungan dan kewibawaan Nya.[57]
9. Musyahadah (Kehadiran Hati)
            Musyahadah yaitu memandangnya seorang hamba kepada Allah dengan cara mengagungkannya, dimana hati merasa tenggelam dalam memandang keagungan Allah. Dan menurut Imam as-Suhrawardi, sesungguhnya puncak tujuan dalam mujahadah dan riyadhah adalah al-musyahadah, yaitu memandang Allah dengan mata hati. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

            “Ketika engkau menyembah Allah seolah-olah engkau memandanginya”.
                   Orang yang sampai pada ahwal Musyahadah akan merasa bahwa tidak ada sesuatu yang wujud melainkan Allah, sehingga dia tidak bersandar dan tidak berserah diri kepada apa pun selain Allah, karena ia merasa bahwasanya tidak ada wujud yang hakiki selain Allah.
            orang-orang yang ber-musyahadah dibedakan menjadi tiga kondisi:
a.    Kelompok pemula. Mereka adalah para murid. Kelompok ini sebagaimana yang dikatakan Abu Bakar al-Wasithi r.a., “Mereka menyaksikan segala sesuatu dengan  mata pikir.”
b.    Kelompok menengah. Mereka adalah sebagaimana yang diisyaratkan Abu Sa’id al-Kharraz r.a. yang mengatakan, “Semua makhluk ada dalam genggaman al-Haq dan menjadi milik-Nya. Sehingga ketika terjadi musyahadah antara Allah dengan hamba-Nya maka tidak ada lagi yang tersisa dalam rahasia hati dan imajinasinya kecuali Allah SWT.”
c.    Kelompok yang diisyaratkan oleh ‘Amr bin ‘Ustman al-Makki r.a. yang mengatakan, “Sesungguhnya hati orang-orang arif menyaksikan Allah dengan kesaksian yang menetapkan. Sehingga mereka menyaksikan-Nya dengan segala sesuatu, dan menyaksikan segala yang wujud (alam) dengan-Nya. Maka musyahadah mereka di sisi Allah, sedangkan untuk makhluk adalah dengan-Nya. Mereka orang-orang yang gaib tapi hadir, dan orang-orang yang hadir tapi gaib. Mereka menyaksikan Allah secara lahir dan batin, secara batin dan lahir, awal dan akhir, akhir dan awal[58]. Sebagaimana firmannya:

هُوَالْاَوَّلُ وَالْاَخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٍ. 
Dialah Yang Maha awal dan Maha akhir, Maha lahir dan Maha batin dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Hadid: 3)
10. Yakin
Menurut Syekh Junaid al-baghdadi, yakin adalah hilangnya keragu-raguan. Sedangkan Dhu al-Nun al-Misri mengatakan bahwa setiap yang diketahui oleh mata hati, kemudian sesuai dengan keyakinan, maka itu yang disebut yakin.
Ibnu Qayyim al-jauziyah membagi tingkatan yakin menjadi tiga:
a.  Ilmu yakin: yaitu keyakinan yang dapat menerima kebenaran kongkrit dan abstrak, lalu berakhir dengan kuatnta suatu keyakinan.
b. Ainul yakin: yaitu keyakinan yang muncul dari penglihatan mata batin, lalu menimbulkan kebenaran yang luar biasa.
c. Haqqul yakin: yaitu keyakinan yang diawali dengan tersingkapnya tabir, kemudian terlihat suatu warna keyakinan.[59]
Jika seorang hamba telah sampai pada puncak hakikat-hakikat keyakinan, maka bencana (bala’) dianggapnya sebagai nikmat, dan kesenangan dianggapnya musibah.
          Keyakinan sejati itu tak lain adalah mukasyafah (tersingkapnya apa yang gaib). Sementara itu, mukasyafah dibedakan menjadi tiga macam:
     a. mukasyafatul-‘’ayan (tersingkapnya tutp mata) sehingga di hari Kiamat nanti ia melihat dengan mata kepala.
b. mukasyafatul-qulub (tersingkapnya tutup hati) untuk memehami hakikat-hakikat keimanan secara langsung dengan yakin, yang tidak bisa dibayangkan dengan cara apa dan bagaimana serta tidak bisa ditentukan.
c.  mukasyafatul-ayat (tersingkapnya tanda-tanda Kebesaran-Nya) dengan ditampakkanya Kekuasaan Allah kepada para nabi a.s. dengan mukjizat. Dan untuk selain para nabi dengan karamah (kemuliaan) dan dikabulkanyya doa.[60]





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari berbagai uraian di atas adalah sebagai berikut:
1.  Maqomat adalah beberapa tingkatan atau fase yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Allah sebagai akhir tujuan sufi yang utama.
2.  Dalam konsep maqamat dan ahwal tersebut terdapat beberapa perbedaan anatara satu sufi dengan yang lainnya, diantara mereka ada yang menyebutkan bahwa tingkatan tersebut terdiri dari taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakkal, dan ridha. Adapula yang menyebutkan tingkatan maqamat dengan taubat, sabar, faqir, zuhud, tawakkal, mahabbah, ma’rifat, ridha, dan sebagainya.
3.  Ahwal adalah keadaan yang dialami oleh para sufi di tengah-tengah perjalanan spiritualnya. Sifatnya lebih statis, karena merupakan anugrah Allah yang timbulnya secara spontan pada diri sufi tanpa adanya usaha. Sedangkan maqamat lebih dinamis dan fleksibel karena merupakan usaha para sufi sendiri.
4.  Sebagaimana maqamat, ahwal juga terdiri dari beberapa macam, diantaranya adalah muraqabah, khauf, raja’, syauq, mahabbah, thuma’ninah, uns, musyahadah, dan yaqin.
Demikian uraian dan kesimpulan yang dapat kami paparkan di atas, mudah-mudahan dengan segala keterbatasan yang ada di dalamya tetap dapat menambah wawasan akademik sekaligus menjadi ruang dialog dan kritik menuju perbaikan.


   


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h.362.
[2] John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1988), h.550.
[3] Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), h.209.
[4] Abu Nasr As-sarraj, Al-Luma’, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), h. 87.
[5] Imam al-Ghazali, Ihya' Ulum ad-Din, Jilid III (Beirut: Dar al-Fikr), h.162-178.
[6] Ibnu al-Qayyim al-Jawziyyah, Madarij al-Salikin: Bayna Manazil Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in,h. 127.
[7] Husein Nasr, Tasawuf  Dulu dan Sekarang, terj. Oleh Abd Hadi WM, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h.88.
[8] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, 1996),       h.607.
[9] Hamzah Tauleka, dkk., Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 244.
[10] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk, h. 245.
[11] Moch. Djamaluddin Ahmad, Mutiara Indah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin, 2011), h. 38-39.
[12] A. Rivay Siregar, Tasawuf Dari Sufi Klasik Ke Neo-Sueisme, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 118.
[13] Ibid., Mahjudin,  h. 213.
[14] Mulyadi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf, (Jakarta: Erlangga, 2006), h. 192.
[15] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 92-94.
[16] Imam Khomeini, Insan Ilahiah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004), h. 295.
[17] Hamzah Tauleka, dkk., Akhlak Tasawuf (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), h. 247.
[18] Sayyid Muhammad Syato al-Dimyati, Kifayatul Atqiyya’, (Semarang: Toha Putra, tt), h. 21.
[19] Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Mizan, 1997), h. 339.
[20] Moch. Djamaluddin Ahmad, Jalan Menuju Allah, (Jombang: Pustaka Al-Muhibbin, 2006), h. 60.
[21] Ibid., Imam Khomeini, h. 297.
[22] QS. 4:77
[23] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 98.
[24] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk., h. 254.
[25] Ibid., Mulyadi Kartanegara, h. 198.
[26] QS. 2:273
[27] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk., h. 251.
[28] Ibid., Mahjudin, h. 215.
[29] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk., h. 251.
[30] Ibid., A. Rivay Siregar, h.121.
[31] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk., h. 255.
[32] Abdul Halim Mahmud, Tasawuf di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 85.
[33] QS. Ibrahim :12.
[34] QS. At-Thalaq: 3.
[35] Ibid., Mahjudin, h. 216.
[36] Q.S Al-Maidah: 119.
[37] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 110.
[38] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak,   1996), h.726.
[39] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 88.
[40] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk., h.263
[41] Ibid., Moch. Djamaluddin Ahmad, h. 122.
[42] Ibid., Mahjudin, h. 218.
[43] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk., h. 139.
[44] Ibid., Abu Nasr As-sarraj., h. 113.
[45] Ibid., Abu Nasr As-sarraj., h. 116.
[46] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h. 208.
[47] Ibid., Mahjudin, h. 219.
[48] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 120-121.
[49] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk., h. 266.
[50] Ibid., Al-Ghazali, h. 321.
[51] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 128.
[52] Ibid., Mahjudin, h. 221.
[53] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 133.
[54] Ibid., Hamzah Tauleka, dkk., h. 271.
[55] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 135-136.
[56] Ibid., Moch. Djamaluddin Ahmad, h. 110.
[57] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 139-140.
[58] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 143.
[59] Ibid., Mahjudin, h. 224.
[60] Ibid., Abu Nasr As-sarraj, h. 145.

Tidak ada komentar: