Sabtu, 03 November 2012

PENGANTAR FILSAFAT


FILSAFAT
EKSISTENSIALISME DAN FENOMENOLOGI


Dosen Pembimbing:
Dr. H. M. Yunus Abu Bakar, M. Ag
Penyusun:
Faizah Alif     D91211149


FAKULTAS TARBIYAH
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2011-2012




KATA PENGANTAR
  
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan taufiq, rahmat, serta hidayah-Nya kepada kami, sehingga tersusunlah sebuah makalah ini meskipun dalam bentuk yang sederhana.
Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. sebagai orang yang pertama dan utama sebagai mufassir sehingga menjadi acuan dalam mendukung penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang kami miliki. Oleh karena itu, dengan rasa kesadaran akan perlunya persatuan dan kesatuan dalam memacu ilmu yang bermanfaat, kami selalu bersedia menerima kritikan dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna kesempurnaan penulisan makalah ini.
Ucapan terima kasih juga tidak terlupakan kepada para pihak yang telah memberikan sumbangan pikiran, baik dari sahabat maupun teman-teman seangkatan. Dengan ini, kami sampaikan terima kasih yang tak terhingga besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dengan segala keikhlasannya sehingga makalah ini bisa selesai dengan baik.
Akhir kata, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat dengan baik bagi diri penyusun sendiri maupun bagi teman-teman semuanya, amin. Dan dengan segala bantuan serta sumbangan pikiran dari berbagai pihak, kami sampaikan rasa terima kasih, semoga Allah SWT. selalu mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amin ya Robbal ‘Alamin.


Surabaya,  Januari 2012


                                              Penulis



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................   i
DAFTAR ISI..........................................................................................................  ii
BAB  I     PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang..................................................................................   1
BAB  II   PEMBAHASAN
A.    Filsafat Kontemporer........................................................................   2
1.      Eksistensialisme..........................................................................   5
2.      Fenomenologi..............................................................................  8
BAB  III  PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................  11
BAB  IV  REVISI  MAKALAH  FILSAFAT 
A.    Eksistensialisme.................................................................................  12 
B.     Fenomenologi...................................................................................  15
BAB  V    ANALISIS  DALAM  PERSPEKTIF  ISLAM
A.    Analisis dalam Perspektif Islam........................................................    20
B.     Kesimpulan Revisi dan Analisis........................................................    25
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................   32






BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Perkembangan dan kemajuan peradaban manusia tidak bisa dilepaskan dari peran ilmu. Bahkan perubahan pola hidup manusia dari waktu ke waktu sesungguhnya berjalan seiring dengan sejarah kemajuan dan perkembangan ilmu. Tahap-tahap perkembangan itu kita menyebut dalam konteks ini sebagai periodesasi sejarah perkembangan ilmu sejak dari zaman klasik, zaman pertengahan, zaman modern dan zaman kontemporer.
Zaman klasik meliputi filsafat Yunani dan Romawi pada abad ke-6 SM dan berakhir pada 529 M. Zaman pertengahan meliputi pemikiran Boethius sampai Nicolaus pada abad ke-6 M dan berakhir pada abad ke-15 M. Zaman modern didahului oleh pemikiran tokoh-tokoh Renaissance. Pada filsafat Rene Descartes (1596-1650) dan berakhir pada pemikiran Friedrich Nietzsche (1844-1900), dan zaman kontemporer yang meliputi seluruh filsafat abad ke-20 hingga saat ini.
Para penulis merasa kesulitan ketika hendak menulis filsafat kontemporer, hal ini dikarenakan mereka harus mengambil jarak terhadap obyek zamannya sendiri sehingga mereka sangat berhati-hati ketika berbicara perkembangan filsafat.
Makalah ini mencoba menguraikan filsafat fenomenologi tentang hakikat suatu benda sebagai sumber pengetahuan dan kebenaran serta filsafat eksistensialisme tentang manusia konkret sebagai pokok renungan dari ajaran filsafat ini. Namun sebelumnya akan diuraikan secara ringkas mengenai filsafat yang membawahinya yakni filsafat kontemporer agar diperoleh gambaran komperhensif tentang posisi semua aliran filsafat kontemporer dalam kontelasi sejarah pemikiran Barat.



BAB II
PEMBAHASAN


A.    FILSAFAT KONTEMPORER
There is No Perfectness in the World”, ungkapan ini adalah yang paling tepat dan perlu untuk mengawali pembahasan dalam makalah ini. Sebab, bila kita menelusuri jejak pemikiran filsafat mulai abad klasik, pertengahan, dan modern, ternyata ada kelemahan dan kekurangan di satu sisi serta kelebihan dan kesempurnaan di sisi yang lain. Filsafat modern yang konon katanya, sudah lebih sempurna ternyata masih ada sisi kurangnya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut Fisafat Kontemporer.
Segi kekurangan tersebut bisa diperlihatkan dengan banyaknya filosof dan pemikirannya yang gagal mencapai kebijaksanaan sebagai inti diskursus filsafat. Kegagalan tersebut disebabkan atas dua alasan. Yang pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
Disebabkan karena tuntutan logis atau rasionalitas, filsafat mengalami beberapa penggeseran yang khas. Penggeseran pertama, adalah dari paradigma yang kosmosentris lewat paradigma teosentris ke paradigma antroposentris. Wawasan kosmosentris adalah paradigma filsafat Yunani yang berarti kosmos atau alam raya, berada di pusat perhatian para filosof. Lewat paradigma teosentris dalam filsafat Islam dan Kristiani abad pertengahan, Allah ada di pusat perhatian, segala-galanya mau dilihat seakan-akan dari sudut pandang Allah. Dalam paradigma antroposentris manusia menempati center court. Paradigma antroposentris itu muncul dengan terang benderang di panggung filsafat dalam abad ke-17.
Penggeseran yang lain, adalah dari filsafat substansial-dengan pertanyaan dasar “Ada apa? Dan apa yang ada itu apa?”, filsafat ini membahas tentang masalah-masalah seperti hakikat alam, Allah, dan manusia-ke filsafat epistemologis dan metodis yang bertanya tentang: “Apa yang dapat diketahui dan apa yang dikatakan?”, ke filsafat kritis yang mau membebaskan.
Namum dalam faktanya, pedoman para filosof kepada rasio dan menghindari intuisi mengalami pengalaman buruk sebagaimana yang telah dijelaskan pada beberapa buku sejarah filsafat Barat. Gejala postmodernisme yang menginterupsi keabsolutan rasio merupakan bukti mengenai ketidakberdayaan rasio dalam menghadapi kebenaran. Karena dunia yang luas dan mozaik ini hampir tak mungkin bisa ditangkap dengan wadah rasio dan indra saja. Selanjutnya akan disimpulkan secara singkat urutan beberapa perkembangan filsafat pada abad setelahnya.
Pada abad ke-20 kita dapat menyaksikan empat aliran besar dalam filsafat. Pertama, filsafat fenomenologis dan eksistensialisme dengan tokoh-tokohnya: Husserl, Heidegger, dan Sartre, filsafat ini merupakan aliran yang paling subur di Eropa kontinental terutama di Jerman dan Prancis. Aliran kedua, meskipun bermula dari “Lingkaran Wiena”, Austria, menjadi filsafat yang dominan untuk waktu yang lama di wilayah Anglo-Saxon, jadi di Inggris dan Amerika Utara, itulah filsafat analitis dan bahasa, dengan tokohnya Ludwig Wittgenstein, di mana aliran yang paling terkenal adalah Positivisme Logis. Aliran ketiga bertitik berat di Jerman dan Prancis, yaitu filsafat kritis yang memahami pemikiran filosofis sebagai praksis pembebasan. Di sini termasuk Teori Kritis Horkheimer dan Adorno kemudian Habermas, serta segala filsafat yang mendapat inspirasi dasar dari pemikiran Karl Marx dan Foucalt, misalnya teori keadilan John Rawls. Aliran keempat yang sangat tidak homogen adalah medan pemikiran postmodernistik yang terutama dikembangkan di Prancis, dengan tokoh-tokohnya, seperti: Derrida dan Lyotard. Dan di Amerika Serikat dengan Komunitarisme (yang dengan sendirinya menolak dimasukkan ke dalam postmodernisme). “Postmodernisme” itu menolak segala usaha untuk memahami seluruh kekayaan gejala kehidupan manusia melalui satu pola teoretis. Pemahaman satu pola itu memaksa dan menjadi sarana penindasan dalam realitas. Di samping empat aliran besar tersebut, tentu masih ada sekian banyak aliran lain, teutama Neo-Thomisme dan banyak filosof yang tidak mudah dapat ditempatkan ke dalam salah satu dari aliran itu.
Mengenai beberapa aliran filsafat yang berkembang di Barat, menurut sumber yang lain, dinyatakan bahwa pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas sejarah filsafat Barat memperlihatkan aliran-aliran yang besar, yang bertahan lama dalam wilayah-wilayah luas, rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Dibandingkan dengan itu, filsafat Barat dalam abad kesembilan belas dan dua puluh kelihatan terpecah-pecah. Macam-macam aliran baru bermunculan, dan yang menarik aliran-aliran ini sering terikat hanya pada satu negara atau satu lingkungan bahasa. Aliran-aliran yang paling berpengaruh pada abad kini diantaranya adalah positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme dan lainnya.
Beberapa aliran-aliran dalam filsafat kontemporer adalah sebagai berikut: 
1.      Eksistensialisme
Eksistensi berasal dari kata ex yang berarti keluar dan sister berarti berdiri atau menempatkan, jadi secara luas eksistensi dapat diartikan sebagai berdiri dengan keluar dari diri sendiri. Filsafat eksistensialisme tidak sama dengan eksistensi tetapi ada kesepakatan diantara keduanya yaitu sama-sama menempatkan cara wujud manusia sebagai tema pokok.
Secara umum eksistensialisme merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketidakpuasan beberapa filosof yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif tentang manusia. Intinya adalah penolakan untuk mengikuti suatu aliran, penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal, akademik dan jauh dari kehidupan, juga pemberontakan terhadap alam yang impersonal yang memandang manusia terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang membuat manusia kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia yang bereksistensi.
Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret.
Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu, selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi, manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengalaman yang konkret.
Jadi dapat disimpulkan bahwa eksistensialisme memandang manusia sebagai suatu yang tinggi, dan keberadaannya itu selalu ditentukan oleh dirinya, karena hanya manusialah yang dapat bereksistensi, yang sadar akan dirinya dan tahu bagaimana cara menempatkan dirinya. Adapun ilmu-ilmu lain yang berkaitan dengan eksistensialisme adalah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan manusia seperti sosiologi (berkaitan dengan manusia dan keberadaannya di dalam lingkungan sosial), antropologi (berkaitan antar manusia dengan lingkungan budaya). Eksistensialisme mempersoalkan keberadaan manusia, dan keberadaan itu dihadirkan lewat kebebasan.
Namun, menjadi eksistensialis bukan selalu harus menjadi seorang yang lain dari pada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
a.      Tokoh-tokoh Eksistensialisme
1)      Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikiran dari tokoh ini adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.
2)      Friedrich Nietzsche
Menurutnya manusia yang bereksistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.
3)      Karl Jaspers
Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan dan mengatasi semua pengetahuan obyektif, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri.
4)      Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia, baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.
5)      Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.

2.      Fenomenologi
Edmun Husserl (1859-1938) menjadi pelopor filsafat fenomenologi. Ia adalah seorang filosof dan matematikus mengenai intensionalisme atau pengarahan melahirkan filsafat fenomenologi berdasarkan pemikiran Brentano. Ia selalu berupaya ingin mendekati realitas tidak melalui argumen-argumen, konsep-konsep atau teori umum. “Zuruck zu den sachen selbst”- kembali kepada benda-benda itu sendiri merupakan inti dari pendekatan yang dipakai untuk mendeskripsikan realitas menurut apa adanya. Setiap objek memiliki hakikat, dan hakikat itu berbicara kepada kita jika kita membuka diri kepada gejala-gejala yang kita terima. Kalau kita “mengambil jarak” dari objek itu melepaskan objek itu dari pandangan-pandangan lain, dan gejala-gejala itu kita cermati, maka objek itu berbicara sendiri mengenai hakikatnya,  dan kita memahaminya berkat intuisi dalam diri kita.
Fenomen atau fenomenon memiliki berbagai arti, yaitu: gejala semu atau lawan bendanya sendiri (penampakan). Menurut para pengikut fenomenologi, suatu fenomen tidak perlu harus dapat diamati dengan indera, sebab fenomen dapat juga di lihat secara rohani, tanpa melewati indera. Untuk sementara dapat dikatakan, bahwa menurut para pengikut filsafat fenomenologi, fenomen adalah “apa yang menampakkan diri dalam dirinya sendiri”, apa yang menampakkan diri seperti apa adanya, apa yang jelas di hadapan kita.
Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode pemikiran, “a way of looking at things”. Fenomenalisme adalah tambahan pada pendapat  Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis. Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari fenomenalisme adalah tesis dari “intensionalisme” yaitu hal yang disebut konstitusi.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi. Para ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan  memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni. Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a.       Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
b.      Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c.       Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Tokoh-tokoh fenomenologi yang lain adalah, Max Scheller (1874-1928), Maurice Merleau-Ponty (1908-1961).






BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
            Filsafat modern telah dianggap lebih sempurna dalam sisi pemikirannya, tapi pada faktanya masih ada sisi kekurangannya sehingga muncul pemikiran baru dalam asas pemikiran yang disebut Fisafat Kontemporer.
            Ada dua kekurangan pemikiran filsafat moderen: pertama, merasa bahwa penilaian terhadap apa yang digolongkan sebagai kebijaksanaan lebih didasari perasaan (feelings) dan keinginan atau gairah (desires) ketimbang pengetahuan (knowledge). Kedua, penilaian itu didasari oleh intuisi yang sulit dipertahankan dengan argumentasi logis.
            Secara harfiah fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Fenomenalisme bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Tokoh-tokoh fenomenologi adalah  Edmund Husser, Max Scheller, dan Maurice Merleau-Ponty.
            Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Manusia juga dipandang sebagai suatu mahluk yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia konkret. Tokoh-tokoh aliran eksistensialisme antara lain: Soren Aabye Kiekeegaard, Friedrich Nietzsche, Karl Jaspers, Martin Heidegger, dan Jean Paul Sartre.
BAB IV
REVISI MAKALAH FILSAFAT

A.      Eksistensialisme
 Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Aliran ini berpedirian bahwa filsafat memang harus bertitik tolak pada manusia konkrit, yakni manusia sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini, maka bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.
Pemikiran filsafat ini membedakan antara proses esensi dan eksistensi. Esensi adalah proses menjadikan semua sosok dari segala yang ada mendapatkan bentuknya, contohnya: Pohon mangga menjadi pohon mangga. Tetapi masih belum pasti apakah pohon itu sungguh ada, tampil, dan hadir. Maka disitulah peran eksistensi muncul. Pengertian eksistensi adalah proses menjadikan semua yang ada dan bersosok itu jelas bentuknya dan mampu berada serta eksis, contohnya: Pohon mangga yang tadinya telah melewati proses esensi selanjutnya dapat tertanam, tumbuh, dan berkembang dengan proses eksistensi. Jika obyek contoh di atas adalah manusia, maka manusia merupakan tonggak utama untuk menggerakkan ketentuan dalam keberadaan dan kebebasannya sendiri. Dengan demikian, mereka dapat bertindak dengan kebebasannya itu.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-ada-an manusia, dan keber-ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang selalu berhubungan dengan eksistensialisme adalah soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi atau ketetapan terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Pada dasarnya, dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya "Human Is Condemned To Be Free", manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi atau asal mula kebebasan eksistensialis adalah sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "Kebebasan yang bertanggung jawab?” Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.
Kaum eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji. Baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.
Walaupun terdapat beberapa sisi positif dari pemikiran ini tetapi ada pula kelemahan dari pemikiran ini, yaitu:
1.      Etika pemikiran ini terperosok ke dalam pendirian yang individualisme,
2.      Mengabaikan tata tertib dan peraturan serta hukum,
3.      Selalu mengambil sikap dengan dasar kebebasan, dan
4.      Amat memperhitungkan situasi tapi mudah goyah.
Dalam ajaran filsafat ini, dapat diambil sebuah ajaran pokok bahwa manusia merupakan tonggak utama untuk menggerakkan ketentuan dalam keberadaannya sendiri. Padahal manusia hanyalah salah satu  makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Dengan demikian, maka Tuhanlah yang mempunyai kedudukan sebagai “Penggerak Pertama” atau “Penggerak yang Tak Tergerakkan”, karena segala sesuatu di dunia ini pasti ada yang menciptakan dan tidak mungkin suatu akibat muncul begitu saja tanpa disertai dengan sebab.
Begitu pula dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat, pasti didalamnya terdiri dari beberapa nilai dan norma sosial yang harus dilaksanakan untuk mencapai keberlangsungan hidup mereka. Tetapi, ajaran eksistensialisme mengajarkan bahwa manusia tidak wajib dan tidak seharusnya tuduk kepada nilai dan norma dalam masyarakat tersebut karena keberadaannya sebagai makhluk sui generic, yaitu apa adanya.
Dengan demikian, maka Thomas Aquinas dengan tegas menyatakan, “Manusia tidaklah menciptakan nilai dan norma sosialnya sendiri, atau dengan kata lain, manusia tidaklah berada pada “Proses penciptaan yang terus-menerus dan berulang-ulang pada dirinya sendiri”, melainkan sekedar “menemukan” serta kembali “menemukan” secara terus-menerus dan berulang-ulang tanpa henti.

B.       Fenomenologi
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Aliran ini berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan fenomena. Sesuatu yang terdapat dalam diri kita sendiri akan merangsang alat indrawi dan diterima oleh akal kita dalam bentuk-bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan penalaran.
Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Sumber pengetahuan dan kebenaran difokuskan pada obyek itu sendiri, tanpa meninggalkan kenyataan yang tampak pada obyek tersebut.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi. Filsafat ini mencoba menepis semua asumsi atau dugaan yang mengkontaminasi pengalaman konkret manusia. Ini mengapa fenomenologi disebut sebagai cara berfilsafat yang radikal.
Para ahli tertentu mengartikan Fenomenologi sebagai suatu metode dalam mengamati, memahami, mengartikan, dan memaknakan sesuatu sebagai pendirian atau suatu aliran filsafat.
Dalam pengertian suatu metode, Kant dan Husserl, mengatakan bahwa apa yang diamati hanyalah fenomena, bukan sumber gejala itu sendiri. Dengan demikian, terhadap sesuatu yang diamati terdapat hal-hal yang membuat pengamatannya tidak murni.
Tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
a.    Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
b.    Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
c.    Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Seorang ahli fenomenolog “Edmund Husserl” menanggalkan segenap teori, anggapan, serta prasangka agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu Den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri). 
Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat Segala Sesuatu”.
Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu:
1. Method of Historical Bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of Existensional Bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of Transcendental Reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of Eidetic Reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Seperti halnya jika kita ingin mengembangkan analisis fenomenologis tentang “Perilaku Politik Kyai”, maka hal-hal yang harus kita lakukan adalah sebagai berikut:
1.      Menunda atau melepaskan semua keputusan dan pengetahuan tentang kyai,
2.    Mengarahkan perhatian kita pada perilaku yang tampak pada kesadaran yang kita alami, kemudian
3.    Kita akan sampai padaperilaku politik kyai yang sesungguhnya.
Jadi, penelitian yang diajarkan dalam aliran filsafat ini adalah mempelajari apa yang ada di balik obyek tersebut, bukan diteliti berdasarkan apa yang tampak secara dhohir. Oleh karenanya, harus dibebaskan terlebih dahulu dari semua hal yang berhubungan dengan obyek tersebut seperti semua unsur subyektif yang meliputinya, ciri-ciri instrinsik dari fenomena yang akan diteliti, sehingga pada fenomena tersebut nantinya hanya tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi selanjutnya diteliti secara obyektif.
Fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif.
Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud. Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digeneralisasi.









BAB V
ANALISIS DALAM PERSPEKTIF ISLAM

A.  Analisis dalam Perspektif Islam
Dalam pandangan islam, dengan tampilnya psikologi humanistik (yang dipengaruhi filsafat fenomenologi dan eksistensialisme) dapat diterima, meski tidak sepenuhnya. Manusia dalam pandangan islam bukan dilihat sebagai objek tetapi subjek. Ia menempati posisi terhormat sebagai sebaik-baik ciptaan.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat at-Tiin ayat 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ.
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Kelahirannya di bumi sebagai khalifah merupakan peran yang nanti ia pertanggung jawab bukan saja pada diri dan komunitasnya saja, tetapi kepada semesta alam untuk membuatnya damai dan tenteram.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ.
Manusia bertanggung jawab untuk menunaikan amanat yang dipikulkan  dalam pencarian makna hidup, relatifitas manusia menyadarkannya tentang otoritas wahyu, sehingga hekekat hidup menjadi betul-betul bermakna sebagaimana Tuhan berencana terhadap kehadirannya pada pertama kali menciptakan manusia.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
Bukan sekedar Viktor E.Frank l yang berujar: “Will to Meaning” yang tanpa arah. Jadi,  disini islam memandang manusia bukan saja harus menjaga hubungan baik dengan sesamanya “حبل من النَاس”. Atau kata Martin Buber: “I Thou Relationship”, tetapi juga menjaga hubungan baik dengan Tuhan “حبل من الله”. Dan hakikat penciptaannya tiada lain hanyalah sebagai hamba yang harus taat pada ربَ العالمين “ Rabb Semesta Alam”.
 Pandangan Islam tentang Eksistensi Manusia
 إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا.  إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا.
Artinya:
“Sungguh kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan : 2-3)
Berbicara mengenai eksistensi manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat beberapa hal yang memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti yang terdapat pada ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya manusia diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk hidup yang jelas Allah SWT telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus, apabila kemudian mereka (manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada manusia itu sendiri. Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada manusia untuk dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya.
Dalam memandang kebebasan menusia untuk berbuat sesuatu untuk hidupnya psikologi eksistensi juga mengungkapkan hal tersebut, manusia akan hidup dalam eksistensinya walaupun dengan pilihan hidup yang otentik dan tidak otentik manusia itu sendiri juga yang memilihnya. Namun ada hal yang tidak dapat ditemukan oleh pemakalah dalam eksistensi manusia itu sendiri. Yaitu dari mana manusia itu berasal sehingga bisa menjadi ada-di-dunia atau disebut Dasein. Manusia tidak memiliki eksistensi terlepas dari dunia dan dunia tidak memiliki eksistensi terlepas dari manusia. Tidak ada penjelasan bagaimana manusia dan dunia bisa ada. Kami memang menemukan aspek “tuhan” serta ‘spiritual’ pada analisa mimpi yang dilakukan oleh Boss akan tetapi penjelasan aspek tersebut tidak ditemukan. Seolah-olah manusia dan dunia muncul dengan begitu saja kemudian manusia itu menyadari keberadaannya maka dia ‘ada’. Sedangkan dalam ayat diatas jelas manusia diciptakan dari setetes mani yang bercampur oleh Allah SWT. 
Begitu pula dalam surat Ar-Rahman ayat 3,
خَلَقَ الْإِنْسَانَ.
Artinya: “Dia menciptakan manusia”

Serta pada ayat 7&10:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ.  أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ.  وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ.  وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ.
“Dan langit telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan.(7) Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”.
Bahwa manusia dan dunia adalah hasil ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja ada. Memang dalam teori in terdapat konsep transendensi, akan tetapi pengertian transendensi disini menekankan pada cara manusia untuk melampaui/mengatasi permasalahan dunianya.
Fenomenologi
                Hubungan antara esensi dan manifestasi ini menyediakan dasar bagi pemahaman tentang bagaimana agama, dalam keberagamannya, dapat difahami sebagai entitas yang berbeda. Ia juga, berdasarkan pada realitas transenden, yang tidak terpisah dari namun dapat dilihat dalam dunia, memberikan kepercayaan kepada pentingnya agama sebuah obyek studi karena kontribusi yang bisa diberikan kepada pengetahuan “Sciencetific”. Fenomenologi Agama pada awal kemunculannya bertujuan memperoleh pengatahuan tentang gejala-gejala agama. Kemudian berusaha memahaminya, dan pada akhirnya menemukan esensi (wussen) agama.

            Di samping itu fenomenologi agama berupaya untuk menjahui penndekatan-pendekatan sempit, etnonsentris, dan normatif agama. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama seakurat mungkin. Dalam penggambaran, analisa dan interpretasi makna, ia berupaya untuk menunda penilaian tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia berupaya menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang muncul dalam pengalaman keberagamaan oranglain.Metode fenomenologi agama terdiri atas tujuh fase:
1.    Klasifikasi, yaitu menamai gejala yang muncul.
2.    Mengikutsertakan gejala itu ke dalam kehidupan kita, karena yang muncul itu selalu merupakan sebuah tanda dengan arti yang pasti, dan yang harus diinterpretasi.
3.    Epoche, yaitu pengurungan (bracketing) sementara semua pertimbangan nilai
normatif.
4.    Mencari esensi gejala dan tipe ideal hubungan struktur-struktur.
5.    Das Versehen, yaitu mengerti dan memahami gejala-gejala agama.
6.    Mengadakan koreksi terhadap hasil penelitiannya.
7.    Memberikan kesaksian terhadap hasil penelitiannya.

             Para ilmuwan mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap pemahaman fenomenologi agama. Pandangan terhadap fenomenologi agama ini bisa secara berkelompok maupun secara individu. adi dari sini bisa dipahami, bahwa Fenomenologi agama adalah studi agama dengan cara membandingkan berbagai fenomena yang sama dari berbagai agama untuk memperoleh prinsip universal. Dalam upaya itu, prinsip kerja fenomenologi Huserl khususnya epokhe eiditis dipergunakan. Ia juga bisa dipahami sebagai pendekatan terhadap persoalan-persoalan agama dengan mengkoordinasikan data agama, menetapkan hubungan, dan mengelompokkkan data berdasar hubungan tersebut tanpa harus mengadakan komparasi tipologi santar berbagai gejala agama.




      Dari sisi metodologi, Fenomenologi agama adalah suatu metode pendekatan dalam studi agama dengan tanpa memperhatikan sejarah suatu agama, tetapi yang diperhatikan adalah bagaimana agama menampakkan diri. Fenomena agama atau gejala yang dengannya agama menampakkan diri menjadi perhatian utama dalam rangka memahami hakikat agama. Dengan metode fenomenologi, dicoba ditemukan struktur dasariah agama yang meliputi isi fundamental, sifat hakiki, relasi hakiki dengan kesadaran dan dengan objek lain yang disadari. Fenomenologi agama tidak hanya ingin mendeskripsikan fenomena yang ditelaah, tidak juga hanya menerangkan hakikat filosofis fenomena, lebih dari itu suatu fenomena religius diberi arti secara lebih mendalam sebagaimana dihayati manusia religius. Fenomenologi agama seperti itu adalah dalam rangka menghindari bias subjektif dan ketidaksesuaian antara penyelidikan dengan kenyataan agama sebagai suatu yang dialami dan dihayati.

B.  Kesimpulan Revisi dan Analisis
      Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Aliran ini berpedirian bahwa filsafat memang harus bertitik tolak pada manusia konkrit, yakni manusia sebagai eksistensi, dan sehubungan dengan titik tolak ini, maka bagi manusia eksistensi itu mendahului esensi.
Eksistensialisme mempersoalkan keber-ada-an manusia, dan keber-ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Kaum eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji. Baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.
Walaupun terdapat beberapa sisi positif dari pemikiran ini tetapi ada pula kelemahan dari pemikiran ini, yaitu:
1.        Etika pemikiran ini terperosok ke dalam pendirian yang individualisme,
2.        Mengabaikan tata tertib dan peraturan serta hukum,
3.        Selalu mengambil sikap dengan dasar kebebasan, dan
4.        Amat memperhitungkan situasi tapi mudah goyah.
Dalam ajaran filsafat ini, dapat diambil sebuah ajaran pokok bahwa manusia merupakan tonggak utama untuk menggerakkan ketentuan dalam keberadaannya sendiri. Padahal manusia hanyalah salah satu  makhluk yang diciptakan oleh Tuhan. Dengan demikian, maka Tuhanlah yang mempunyai kedudukan sebagai “Penggerak Pertama” atau “Penggerak yang Tak Tergerakkan”, karena segala sesuatu di dunia ini pasti ada yang menciptakan dan tidak mungkin suatu akibat muncul begitu saja tanpa disertai dengan sebab.
Dengan demikian, maka Thomas Aquinas dengan tegas menyatakan, “Manusia tidaklah menciptakan nilai dan norma sosialnya sendiri, atau dengan kata lain, manusia tidaklah berada pada “Proses penciptaan yang terus-menerus dan berulang-ulang pada dirinya sendiri”, melainkan sekedar “menemukan” serta kembali “menemukan” secara terus-menerus dan berulang-ulang tanpa henti. Pandangan Islam tentang eksistensi manusia adalah sebagai berikut:
إِنَّا خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ نُطْفَةٍ أَمْشَاجٍ نبْتَلِيهِ فَجَعَلْنَاهُ سَمِيعًا بَصِيرًا.  إِنَّا هَدَيْنَاهُ السَّبِيلَ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا.
Artinya:
“Sungguh kami telah menciptakan manusia dari setetes air mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sungguh kami telah menunjukkan kepadanya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Al-Insan : 2-3)
Berbicara mengenai eksistensi manusia yang dalam hal ini psikologi eksistensial terdapat beberapa hal yang memiliki kesamaan dengan yang diajarkan dalam Islam. Seperti yang terdapat pada ayat diatas, dapat kita ambil makna bahwa sesungguhnya manusia diberikan kebebasan untuk memilih kebaikan ataupun keburukkan untuk hidup yang jelas Allah SWT telah memberikan petunjuk yang benar dan lurus, apabila kemudian mereka (manusia) mau bersyukur ataupun kufur tergantung kepada manusia itu sendiri. Karena Allah SWT telah memberikan potensi-potensi kepada manusia untuk dikembangkan dan digunakan sebaik-baiknya.
Serta pada ayat 7&10:
وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ.  أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ.  وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ.  وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ.
“Dan langit telah ditingggikan-Nya dan Dia ciptakan keseimbangan.(7) Dan bumi telah dibentangkan-Nya untuk makhluk-Nya.(10)”.
Bahwa manusia dan dunia adalah hasil ciptaan Allah SWT. dan tidak begitu saja ada. Memang dalam teori in terdapat konsep transendensi, akan tetapi pengertian transendensi disini menekankan pada cara manusia untuk melampaui/mengatasi permasalahan dunianya.
Fenomenologi adalah sebuah studi dalam bidang filsafat yang mempelajari manusia sebagai sebuah fenomena. Aliran ini berpendapat bahwa hasrat yang kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap fenomena atau pertemuan kita dengan fenomena.
Ilmu fenomonologi dalam filsafat biasa dihubungkan dengan ilmu hermeneutik, yaitu ilmu yang mempelajari arti daripada fenomena ini. Fenomenologi memanfaatkan pengalaman intuitif atas fenomena, sesuatu yang hadir dalam refleksi fenomenologis, sebagai titik awal dan usaha untuk mendapatkan fitur-hakekat dari pengalaman dan hakekat dari apa yang kita alami. Sumber pengetahuan dan kebenaran difokuskan pada obyek itu sendiri, tanpa meninggalkan kenyataan yang tampak pada obyek tersebut.
Filsafat Fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya yang dinamakan untuk mencapai “hakikat segala sesuatu”. Untuk mencapai hakikat segala sesuatu itu melalui reduksi. Adapun tiga hal yang perlu disisihkan dari usaha menginginkan kebenaran yang murni, yaitu:
1.    Membebaskan diri dari anasir atau unsur subjektif,
2.    Membebaskan diri dari kungkungan teori, dan hipotesis, serta
3.    Membebaskan diri dari doktrin-doktrin tradisional.
Setelah mengalami reduksi yang pertama tingkat pertama, yaitu reduksi fenomenologi atau reduksi epochal, fenomena yang dihadapi menjadi fenomena yang murni, tetapi belum mencapai hal yang mendasar atau makna sebenarnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan reduksi kedua yang disebut reduksi eiditis. Melalui reduksi kedua, fenomena yang kita hadapi mampu mencapai inti atau esensi. Kedua reduksi tersebut adalah mutlak. Selain kedua reduksi tersebut terdapat reduksi ketiga dan yang berikutnya dengan maksud mendapatkan pengamatan yang murni, tidak terkotori oleh unsur apa pun, serta dalam usaha mencari kebenaran yang tertinggi.
Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu:
1. Method of Historical Bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.
2. Method of Existensional Bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.
3. Method of Transcendental Reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.
4. Method of Eidetic Reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu. Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.
Jadi, penelitian yang diajarkan dalam aliran filsafat ini adalah mempelajari apa yang ada di balik obyek tersebut, bukan diteliti berdasarkan apa yang tampak secara dhohir. Oleh karenanya, harus dibebaskan terlebih dahulu dari semua hal yang berhubungan dengan obyek tersebut seperti semua unsur subyektif yang meliputinya, ciri-ciri instrinsik dari fenomena yang akan diteliti, sehingga pada fenomena tersebut nantinya hanya tersisa gambaran-gambaran yang hakiki dan intuisi esensi selanjutnya diteliti secara obyektif.
Fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.
Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati.
Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif.
Dalam pandangan islam, dengan tampilnya psikologi humanistik (yang dipengaruhi filsafat fenomenologi dan eksistensialisme) dapat diterima, meski tidak sepenuhnya. Manusia dalam pandangan islam bukan dilihat sebagai objek tetapi subjek. Ia menempati posisi terhormat sebagai sebaik-baik ciptaan.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat at-Tiin ayat 4:
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ.
Artinya:
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Kelahirannya di bumi sebagai khalifah merupakan peran yang nanti ia pertanggung jawab bukan saja pada diri dan komunitasnya saja, tetapi kepada semesta alam untuk membuatnya damai dan tenteram.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat al-Baqarah ayat 30:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ.
Manusia bertanggung jawab untuk menunaikan amanat yang dipikulkan  dalam pencarian makna hidup, relatifitas manusia menyadarkannya tentang otoritas wahyu, sehingga hekekat hidup menjadi betul-betul bermakna sebagaimana Tuhan berencana terhadap kehadirannya pada pertama kali menciptakan manusia.
Sebagaimana yang terkandung pada Surat al-Ahzab ayat 72:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا.
Bukan sekedar Viktor E.Frank l yang berujar: “Will to Meaning” yang tanpa arah. Jadi,  disini islam memandang manusia bukan saja harus menjaga hubungan baik dengan sesamanya “حبل من النَاس”. Atau kata Martin Buber: “I Thou Relationship”, tetapi juga menjaga hubungan baik dengan Tuhan “حبل من الله”. Dan hakikat penciptaannya tiada lain hanyalah sebagai hamba yang harus taat pada ربَ العالمين “ Rabb Semesta Alam”.















DAFTAR PUSTAKA

Poeja, Wijatna. 2005. Pembimbin ke Arah Alam Filsafat. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudarsono, Drs. 1993. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Maksum, Ali. 2008. Pengantar Filsafat Dari Masa Klasik Hingga Postmodernisme. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Muntansyir, Riza dkk. 2004. Filsafat Ilmu.  Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar: