Membicarakan
persoalan sains dan agama, kita akan sampai pada pembahasan mengenai interaksi
sains dan agama pada level simbolik sekaligus maknawi. Secara geneologis kita
bisa melihat kompleksitas interaksi agama dan sains pada perdebatan antara
dimensi keimanan yang dipahami secara tekstual dan paham ilmu yang meminggirkan
doktrin agama karena kerap dianggap tidak sesuai dengan dalil-dalil akal sehat.
Padahal ilmu dan agama lahir dari rahim yang sama yaitu wilayah “pengalaman”
kemanusiaan. Pengalaman yang dimaksud bisa bersifat حصولى
maupun حضورى.
Hingga
kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan
bahwa ”agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan.
Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dengan yang
lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria
kebenaran, dan peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak
memperdulikan agama dan agama pun tidak memperdulikan ilmu. Hal ini dikarenakan
adanya anggapan bahwa sains dan agama memiliki cara yang berbeda baik dari
pendekatan, pengalaman, dan perbedaan-perbedaan, ini merupakan sumber
perdebatan. Ilmu terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya
matematika. Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa
kehidupan. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu bersifat deskriptif dan agama
bersifat preskriptif.
Agama
dan sains harus hidup berdampingan independen satu sama lain, sebab meskipun
ada kesamaan dalam misi mereka, perbedaan mendasar antara keduanya menyajikan
sebuah konflik yang akan beresonansi pada inti masing-masing. Sehingga
integrasi antara sains dan agama hampir tidak layak, sebagai kriteria ilmiah
untuk mengidentifikasi asumsi tersebut menjadi nyata, karena dipastikan ada
proses kanibalisasi antara keduanya, sementara agama sangat penting bagi
kesejahteraan individu dan bertujuan menciptakan harmoni bagi kehidupan.
Di
sisi lain, banyak filsuf ilmu pengetahuan berpikir sebaliknya. Thomas S. Kuhn
menegaskan ilmu yang terdiri dari paradigma yang muncul dari tradisi budaya, mirip
dengan perspektif sekuler pada agama. Michael Polanyi menegaskan bahwa itu
hanyalah sebuah komitmen untuk universalitas yang melindungi terhadap
subyektivitas dan tidak ada sama sekali hubungannya dengan detasemen pribadi
seperti yang ditemukan dalam banyak konsepsi metode ilmiah. Polanyi lebih
lanjut menegaskan bahwa semua pengetahuan bersifat pribadi dan karenanya
ilmuwan harus melakukan sangat pribadi jika tidak perlu berperan subjektif ketika
melakukan sains. Hal yang sama juga ditegaskan oleh dua fisikawan, Charles A.
Coulson dan Harold K. Schilling, keduanya mengklaim bahwa "metode sains
dan agama memiliki banyak kesamaan". Schilling menegaskan bahwa kedua
bidang-sains dan agama-memiliki "tiga struktur-pengalaman, interpretasi teoritis,
dan aplikasi praktis".[1]
Kita mengakui bahwa
sains dan teknologi memang telah mengambil peranan penting dalam pembangunan
peradaban material manusia. Penemuan-penemuan sains dan teknologi telah
memberikan bermacam-macam kemudahan pada manusia.
Islam adalah agama yang
sesuai dengan fitrah manusia, maka syariatnya bukan saja mendorong manusia
untuk mempelajari sains dan teknologi, kemudian membangun dan membina
peradaban, bahkan mengatur umatnya ke arah itu agar selamat dan menyelamatkan
baik di dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.
Menyikapi
hal tersebut, Ian G. Barbour yang merupakan seorang fisikawan-cum-agamawan,
mengusulkan empat potensi model tentang hubungan sains-agama. Yaitu, konflik,
independensi, dialog dan integrasi. Sementara bagi Barbour, tampaknya perlu
melakukan advokasi tentang Integrasi, dengan asumsi bahwa kedua disiplin ilmu
dan agama bisa saling mendapatkan manfaat dari pendekatan-pendekatan
tertentu.
Dengan
demikian, upaya untuk menghubungkan dan memadukan antara sains dan agama, tak
harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau
watak dari masing-masing kedua entitas itu tak mesti hilang, atau sebagian
orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Integrasi yang diinginkan
adalah integrasi yang “konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya
integrasi yang menghasilkan konstribusi baru (untuk sains dan/atau agama), yang
dapat diperoleh jika keduanya terpisahkan.
Dalam
kasus paradigma epistemologi Islam, integrasi antara agama dan sains adalah
sesuatu yang mungkin adanya, karena didasarkan pada gagasan Keesaan (tauhid).
Dalam hal ini, ilmu pengetahuan, studi tentang alam, dianggap terkait dengan
konsep Tauhid (Keesaan Tuhan), seperti juga semua cabang pengetahuan lainnya.
Dalam Islam, alam tidak dilihat sebagai entitas yang terpisah, melainkan
sebagai bagian integral dari pandangan holistik Islam pada Tuhan, kemanusiaan,
dan dunia.
Manusia sebagai ciptaan
Tuhan dengan kesempurnaan akal pikirannya, di dalam ajaran Islam, dianjurkan
untuk membaca ayat-ayat yang tersirat lewat fenomena dan keteraturan alam.
Dengan kajian-kajiannya yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan dan teraplikasi
dalam wujud teknologi, kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan sejahtera.
Dengan mengetahui dan merenungi berbagai keteraturan dan fenomena alam yang ada
akan menimbulkan keimanan, ketakwaan, dan kesadaran rohaniyah dalam diri
manusia bahwa betapa kecilnya makhluk manusia dan betapa besarnya Tuhan sebagai
pencipta alam semesta serta segala isinya.[2]
Di
bawah pengaruh Islam, sains tumbuh subur dan mempunyai sebuah bentuk yang unik.
Sarjana-sarjana Eropa Utara yang berkultur Latin benar-benar bersimpul di depan
ilmuan-ilmuan Muslim di Spanyol dan di pusat-pusat peradaban Islam di sepanjang
pantai Laut Tengah, untuk mempelajari dasar-dasar sains dan aspek-aspek lain
dari prestasi Islam. Barulah pada abad keenam belas sains dan teknologi Eropa
bisa menyamai keunggulan Islam itu.
Tradisi
sains dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum Muslimin betul-betul
unik, namun keunikan itu tak hanya terletak di dalam metodologinya tetapi juga
di dalam epistemologinya. Epistemologi Islam mengandung sebuah konsep yang
holistik mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat perpisahan
antara pengetahuan dengan nilai-nilai. Pengetahuan dikaitkan dengan fungsi
sosialnya dan dipandang sebagai sebuah ciri dari manusia. Dengan demikian
terdapatlah sebuah kesatuan antara manusia dengan pengetahuannya. Tidak ada
informasi-informasi khusus yang bebas-nilai untuk tujuan-tujuan tertentu. Tidak
ada perendahan martabat manusia, pengisolasian dan pengasingan manusia.[3]
Obsesi
terhadap sains dan teknologi dengan menyampingkan nila-nilai moral dan
spiritual yang dijunjung tinggi merupakan salah satu kemalangan terbesar di
zaman kita ini. Kemalangan itu lebih besar lagi jika obsesi tersebut menyangkut
kekuasaan material semata. Meskipun khususnya selama paruh terkhir abad ini
terjadi kemerosotan iman secara perlahan di tengah kemampuan mukjizat sains dan
teknologi untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menggoncangkan,
apalagi untuk menciptakan surga di bumi, seiring dengan semakin banyak
efek-efek destruktif penemuan sains dan teknologi yang dapat dilihat, perkembangan
sains dan teknologi terus dibentuk oleh mereka yang mengakui atau mengikuti
garis pemikiran di atas.[4]
Salah
satu upaya untuk menyeimbangan Islam dan sains yakni dengan melakukan
Islamisasi sains. Islamisasi sains dalam hal ini adalah dimaksudkan sebagai upaya
untuk mengaitkan kembali sains dengan agama, yang berarti mengingatkan kembali
hukum alam (sunatullah) dengan Al-Qur’an yang keduanya pada hakikatnya
merupakan ayat-ayat keagungan Tuhan.[5]
Dilihat
dari ketiga aspeknya ontologi, epistemologi, dan aksiologinya diskursus
keilmuan Islam klasik secara umum jelas-jelas merupakan suatu karya hasil upaya
islamisasi. Karena itu, tepatlah apabila Lapidus sampai pada suatu kesimpulan
bahwa hasil konfigurasi kebudayaan yang dilakukan Islam itu tanpa diragukan adalah
murni dan islami.
Jika
dilihat dari segi ontologinya, ilmu yang ada dalam Islam meliputi tiga
klasifikasi ilmu, yakni ilmu kealaman, humaniora, dan ilmu sosial. Ilmu alam, contentnya
netral. Dengan demikian, ilmu itu tidak perlu diislamkan. Para ilmuan muslim
malah mengembangkan ilmu yang didapatnya dari beragam sumber itu secara kreatif
sehingga tidak sedikit temuan-temuan yang disumbangkannya.
Adapun
mengenai ilmu humaniora termasuk didalamnya filsafat meskipun tampaknya tidak
terlalu berbeda dengan yang ada di masa Yunani, tetapi hal-hal yang dibahas
ditemukan akarnya dalam al-Qur’an.
Sementara
bila ditinjau dari segi epistemologi atau metode ilmu yang dipergunakannya,
keilmuan Islam klasik menurut Nasr menggunakan metode pluralistik. Bagi Anees,
seperti dikutip Kirmani, ilmu pengetahuan abad pertengahan bukan antitesis
untuk reduksionalisme, tetapi antitesis yang metodologinya menekankan pada
keseimbangan, sintesis, memperlakukan reduksionalisme bukan sebagai ideologi
melainkan hanya sebagai satu metode di antara seluruh kesatuan metode.
Menurut
Sardar, interelasi ilmu dalam Islam merupakan aspek penting dari epistemologi
Islam. Pencarian ilmu bukan wajib dalam dirinya, tetapi merupakan suatu bentuk
ibadah dan berhubungan dengan setiap nilai Al-Qur’an seperti khilafah, ‘adl,
dan istishlah. Metode yang holistik dari epistemologi Islam dan
penekanannya pada kesatuan ilmu dan nilai, material dan metafisik, menyebabkan
ilmu Islam itu unik sifatnya.
Kemudian
dari segi aksiologinya, jelas bahwa Islam sangat mementingkan nilai dalam ilmu
yang dikembangkannya. Situasi sekarang, kata Nasr, berbeda dengan keadaan abad
ke-3 H/ 9 M yakni yang berhubungan dengan kekuasaan. Pada masa lalu tantangan
kaum muslimin semata-mata intelektual. Di belakangnya tidak ada kekuatan
militer, politik ataupun ekonomi.[6]
[1] Amin Abdullah, Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan
Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama, (Yogyakarta: Pilar Relegia, 2004),
hal. 126-127.
[2] Abdurrohim
Syamsu, “Integrasi Sains dan Agama”, diakses pada tanggal 7 Juni 2012 dari http://abdurrohimsyamsu.blogspot.com/2011/03/integrasi-sains-dan-agama-dan.html.
[3] Rahmani
Astuti, Sains. Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam, (Bandung:
Pustaka, 1989), h. 31-32.
[4] Osman Bakar, Tauhid
dan Sains, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1994), h. 241-242.
[5] AM Saefuddin, Islamisasi
Sains dan Kampus, (Jakarta: PT PPA Consultants, 2010), h. 8.
[6] Ibid., h.
39-41.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar