Selasa, 12 Maret 2013

Konsep Antidikotomi Agama Islam dan Sains



Membicarakan persoalan sains dan agama, kita akan sampai pada pembahasan mengenai interaksi sains dan agama pada level simbolik sekaligus maknawi. Secara geneologis kita bisa melihat kompleksitas interaksi agama dan sains pada perdebatan antara dimensi keimanan yang dipahami secara tekstual dan paham ilmu yang meminggirkan doktrin agama karena kerap dianggap tidak sesuai dengan dalil-dalil akal sehat. Padahal ilmu dan agama lahir dari rahim yang sama yaitu wilayah “pengalaman” kemanusiaan. Pengalaman yang dimaksud bisa bersifat حصولى maupun حضورى
Hingga kini, masih saja ada anggapan yang kuat dalam masyarakat luas yang mengatakan bahwa ”agama” dan ”ilmu” adalah dua entitas yang tidak dapat dipertemukan. Keduanya mempunyai wilayah masing-masing, terpisah antara satu dengan yang lainnya, baik dari segi objek formal-material, metode penelitian, kriteria kebenaran, dan peran yang dimainkan oleh ilmuwan. Ungkapan lain, ilmu tidak memperdulikan agama dan agama pun tidak memperdulikan ilmu. Hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa sains dan agama memiliki cara yang berbeda baik dari pendekatan, pengalaman, dan perbedaan-perbedaan, ini merupakan sumber perdebatan. Ilmu terkait erat dengan pengalaman yang sangat abstrak, misalnya matematika. Sedangkan agama lebih terkait erat dengan pengalaman biasa kehidupan. Sebagai interpretasi pengalaman, ilmu bersifat deskriptif dan agama bersifat preskriptif.
 Agama dan sains harus hidup berdampingan independen satu sama lain, sebab meskipun ada kesamaan dalam misi mereka, perbedaan mendasar antara keduanya menyajikan sebuah konflik yang akan beresonansi pada inti masing-masing. Sehingga integrasi antara sains dan agama hampir tidak layak, sebagai kriteria ilmiah untuk mengidentifikasi asumsi tersebut menjadi nyata, karena dipastikan ada proses kanibalisasi antara keduanya, sementara agama sangat penting bagi kesejahteraan individu dan bertujuan menciptakan harmoni bagi kehidupan.
 Di sisi lain, banyak filsuf ilmu pengetahuan berpikir sebaliknya. Thomas S. Kuhn menegaskan ilmu yang terdiri dari paradigma yang muncul dari tradisi budaya, mirip dengan perspektif sekuler pada agama. Michael Polanyi menegaskan bahwa itu hanyalah sebuah komitmen untuk universalitas yang melindungi terhadap subyektivitas dan tidak ada sama sekali hubungannya dengan detasemen pribadi seperti yang ditemukan dalam banyak konsepsi metode ilmiah. Polanyi lebih lanjut menegaskan bahwa semua pengetahuan bersifat pribadi dan karenanya ilmuwan harus melakukan sangat pribadi jika tidak perlu berperan subjektif ketika melakukan sains. Hal yang sama juga ditegaskan oleh dua fisikawan, Charles A. Coulson dan Harold K. Schilling, keduanya mengklaim bahwa "metode sains dan agama memiliki banyak kesamaan". Schilling menegaskan bahwa kedua bidang-sains dan agama-memiliki "tiga struktur-pengalaman, interpretasi teoritis, dan aplikasi praktis".[1] 
Kita mengakui bahwa sains dan teknologi memang telah mengambil peranan penting dalam pembangunan peradaban material manusia. Penemuan-penemuan sains dan teknologi telah memberikan bermacam-macam kemudahan pada manusia.
Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, maka syariatnya bukan saja mendorong manusia untuk mempelajari sains dan teknologi, kemudian membangun dan membina peradaban, bahkan mengatur umatnya ke arah itu agar selamat dan menyelamatkan baik di dunia lebih-lebih lagi di akhirat kelak.
Menyikapi hal tersebut, Ian G. Barbour yang merupakan seorang fisikawan-cum-agamawan, mengusulkan empat potensi model tentang hubungan sains-agama. Yaitu, konflik, independensi, dialog dan integrasi. Sementara bagi Barbour, tampaknya perlu melakukan advokasi tentang Integrasi, dengan asumsi bahwa kedua disiplin ilmu dan agama bisa saling mendapatkan manfaat dari pendekatan-pendekatan tertentu. 
 Dengan demikian, upaya untuk menghubungkan dan memadukan antara sains dan agama, tak harus berarti menyatukan atau bahkan mencampuradukkan, karena identitas atau watak dari masing-masing kedua entitas itu tak mesti hilang, atau sebagian orang bahkan akan berkata, harus tetap dipertahankan. Integrasi yang diinginkan adalah integrasi yang “konstruktif”, hal ini dapat dimaknai sebagai suatu upaya integrasi yang menghasilkan konstribusi baru (untuk sains dan/atau agama), yang dapat diperoleh jika keduanya terpisahkan.
 Dalam kasus paradigma epistemologi Islam, integrasi antara agama dan sains adalah sesuatu yang mungkin adanya, karena didasarkan pada gagasan Keesaan (tauhid). Dalam hal ini, ilmu pengetahuan, studi tentang alam, dianggap terkait dengan konsep Tauhid (Keesaan Tuhan), seperti juga semua cabang pengetahuan lainnya. Dalam Islam, alam tidak dilihat sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian integral dari pandangan holistik Islam pada Tuhan, kemanusiaan, dan dunia.
Manusia sebagai ciptaan Tuhan dengan kesempurnaan akal pikirannya, di dalam ajaran Islam, dianjurkan untuk membaca ayat-ayat yang tersirat lewat fenomena dan keteraturan alam. Dengan kajian-kajiannya yang kemudian menjadi ilmu pengetahuan dan teraplikasi dalam wujud teknologi, kehidupan manusia menjadi lebih mudah dan sejahtera. Dengan mengetahui dan merenungi berbagai keteraturan dan fenomena alam yang ada akan menimbulkan keimanan, ketakwaan, dan kesadaran rohaniyah dalam diri manusia bahwa betapa kecilnya makhluk manusia dan betapa besarnya Tuhan sebagai pencipta alam semesta serta segala isinya.[2]
Di bawah pengaruh Islam, sains tumbuh subur dan mempunyai sebuah bentuk yang unik. Sarjana-sarjana Eropa Utara yang berkultur Latin benar-benar bersimpul di depan ilmuan-ilmuan Muslim di Spanyol dan di pusat-pusat peradaban Islam di sepanjang pantai Laut Tengah, untuk mempelajari dasar-dasar sains dan aspek-aspek lain dari prestasi Islam. Barulah pada abad keenam belas sains dan teknologi Eropa bisa menyamai keunggulan Islam itu.
Tradisi sains dan ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh kaum Muslimin betul-betul unik, namun keunikan itu tak hanya terletak di dalam metodologinya tetapi juga di dalam epistemologinya. Epistemologi Islam mengandung sebuah konsep yang holistik mengenai pengetahuan. Di dalam konsep ini tidak terdapat perpisahan antara pengetahuan dengan nilai-nilai. Pengetahuan dikaitkan dengan fungsi sosialnya dan dipandang sebagai sebuah ciri dari manusia. Dengan demikian terdapatlah sebuah kesatuan antara manusia dengan pengetahuannya. Tidak ada informasi-informasi khusus yang bebas-nilai untuk tujuan-tujuan tertentu. Tidak ada perendahan martabat manusia, pengisolasian dan pengasingan manusia.[3]
Obsesi terhadap sains dan teknologi dengan menyampingkan nila-nilai moral dan spiritual yang dijunjung tinggi merupakan salah satu kemalangan terbesar di zaman kita ini. Kemalangan itu lebih besar lagi jika obsesi tersebut menyangkut kekuasaan material semata. Meskipun khususnya selama paruh terkhir abad ini terjadi kemerosotan iman secara perlahan di tengah kemampuan mukjizat sains dan teknologi untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan yang menggoncangkan, apalagi untuk menciptakan surga di bumi, seiring dengan semakin banyak efek-efek destruktif penemuan sains dan teknologi yang dapat dilihat, perkembangan sains dan teknologi terus dibentuk oleh mereka yang mengakui atau mengikuti garis pemikiran di atas.[4]
Salah satu upaya untuk menyeimbangan Islam dan sains yakni dengan melakukan Islamisasi sains. Islamisasi sains dalam hal ini adalah dimaksudkan sebagai upaya untuk mengaitkan kembali sains dengan agama, yang berarti mengingatkan kembali hukum alam (sunatullah) dengan Al-Qur’an yang keduanya pada hakikatnya merupakan ayat-ayat keagungan Tuhan.[5]
Dilihat dari ketiga aspeknya ontologi, epistemologi, dan aksiologinya diskursus keilmuan Islam klasik secara umum jelas-jelas merupakan suatu karya hasil upaya islamisasi. Karena itu, tepatlah apabila Lapidus sampai pada suatu kesimpulan bahwa hasil konfigurasi kebudayaan yang dilakukan Islam itu tanpa diragukan adalah murni dan islami.
Jika dilihat dari segi ontologinya, ilmu yang ada dalam Islam meliputi tiga klasifikasi ilmu, yakni ilmu kealaman, humaniora, dan ilmu sosial. Ilmu alam, contentnya netral. Dengan demikian, ilmu itu tidak perlu diislamkan. Para ilmuan muslim malah mengembangkan ilmu yang didapatnya dari beragam sumber itu secara kreatif sehingga tidak sedikit temuan-temuan yang disumbangkannya.
Adapun mengenai ilmu humaniora termasuk didalamnya filsafat meskipun tampaknya tidak terlalu berbeda dengan yang ada di masa Yunani, tetapi hal-hal yang dibahas ditemukan akarnya dalam al-Qur’an.
Sementara bila ditinjau dari segi epistemologi atau metode ilmu yang dipergunakannya, keilmuan Islam klasik menurut Nasr menggunakan metode pluralistik. Bagi Anees, seperti dikutip Kirmani, ilmu pengetahuan abad pertengahan bukan antitesis untuk reduksionalisme, tetapi antitesis yang metodologinya menekankan pada keseimbangan, sintesis, memperlakukan reduksionalisme bukan sebagai ideologi melainkan hanya sebagai satu metode di antara seluruh kesatuan metode.
Menurut Sardar, interelasi ilmu dalam Islam merupakan aspek penting dari epistemologi Islam. Pencarian ilmu bukan wajib dalam dirinya, tetapi merupakan suatu bentuk ibadah dan berhubungan dengan setiap nilai Al-Qur’an seperti khilafah, ‘adl, dan istishlah. Metode yang holistik dari epistemologi Islam dan penekanannya pada kesatuan ilmu dan nilai, material dan metafisik, menyebabkan ilmu Islam itu unik sifatnya.
Kemudian dari segi aksiologinya, jelas bahwa Islam sangat mementingkan nilai dalam ilmu yang dikembangkannya. Situasi sekarang, kata Nasr, berbeda dengan keadaan abad ke-3 H/ 9 M yakni yang berhubungan dengan kekuasaan. Pada masa lalu tantangan kaum muslimin semata-mata intelektual. Di belakangnya tidak ada kekuatan militer, politik ataupun ekonomi.[6]



[1] Amin Abdullah, Etika Tauhidik Sebagai Dasar Kesatuan Epistemologi Keilmuan Umum dan Agama, (Yogyakarta: Pilar Relegia, 2004), hal. 126-127.

[2] Abdurrohim Syamsu, “Integrasi Sains dan Agama”, diakses pada tanggal 7 Juni 2012 dari http://abdurrohimsyamsu.blogspot.com/2011/03/integrasi-sains-dan-agama-dan.html.
[3] Rahmani Astuti, Sains. Teknologi dan Pembangunan di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka, 1989), h. 31-32.
[4] Osman Bakar, Tauhid dan Sains, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1994), h. 241-242.
[5] AM Saefuddin, Islamisasi Sains dan Kampus, (Jakarta: PT PPA Consultants, 2010), h. 8.
[6] Ibid., h. 39-41.

Tidak ada komentar: